
MENGHAPUS PAHALA
Sabtu, 11 Juni 2022
Edit

Oleh: Muslihah
Pagi itu Romlah sedang menyapu halaman, lebih tepat jalan di depan rumah seperti biasa. Tiba-tiba ia dikejutkan suara teriakan keras dari rumah Irianti tetangga sebelah rumah.
"Kamu kalau tidak kuasuh dan kurawat, entah jadi apa kamu. Sejak kecil aku yang memberi makan kamu. Sekarang saatnya kamu membalas budi."
Entah suara siapa yang terdengar sedang marah dan dengan nada tinggi itu. Karena kaget, Romlah sempat menghentikan gerakan sapu lidi yang ada di tangannya. Reflek matanya mencari sumber suara. Namun tak ada yang ia dengar lagi. Romlah melanjutkan menyapu yang masih belum selesai.
"Sudah selayaknya kamu nurut sama ibu. Dulu kamu kupungut dari tempat sampah. Aku rawat dengan penuh sayang. Sekarang tinggal patuh sama kemauan ibu saja apa susahnya, sih?"
Lagi terdengar teriakan, menghentikan Romlah dari aktifitasnya. Merasa tak memiliki urusan, ia mempercepat gerakan agar segera selesai dan telinganya tak perlu mendapat polusi beracun. Saat ia memungut sampah daun dengan pengki, untuk dibuang ke tempat sampah, dilihatnya Safira, anak gadis Irianti keluar rumah dengan menangis.
Romlah buru-buru masuk rumah, meninggalkan pekerjaan yang terbengkalai. Nanti bisa dilanjutkan lagi, ujarnya dalam benak. Segera ia ke dapur mencuci tangan di wastafel. Ia tak mau terlihat sedang mengintai atau memata-matai tetangganya. Sungguh jika ia mendengar teriakan dari dalam rumah tetangganya itu bukan ia sengaja. Jika saja ia berbicara tanpa berteriak, Romlah yang sedang menyapu tak akan mendengarnya.
Romlah kembali ke luar rumah saat terdengar pintu diketuk.
"Iya? Siap... pa?"
Ucapan Romlah terputus melihat Safira menangis di depan pintu rumahnya. Melihat Romlah, Safira menghambur ke dalam pelukannya sambil menangis sesenggukan.
"Ada apa, Mbak?" tanya Romlah sambil membalas pelukan Safira dan mengelus punggungnya.
Setelah puas menangis, Safira menceritakan jika ia baru tahu statusnya hanya anak pungut. Sekarang ia dipaksa untuk menikah dengan lelaki pilihan ibunya. Safira menolak ketika tahu pilihan sang ibu adalah lelaki beristri. Ia tak mau mengganggu rumah tangga orang lain. Sementara ibu angkatnya menuntut agar Safira patuh sebagai tanda balas budi. Safira syok mendapai kenyataan statusnya sebagai anak pungut yang tak tahu siapa orang tua kandungnya, selain dipaksa menikah dengan lelaki beristri. Safira bercerita sambil tak bisa menanhan air mata yang terus keluar bercucuran.
Selama ini Romlah memang cukup dekat dengan Safira. Tak jarang anak itu main ke rumahnya, sekedar ngobrol ringan sampai diskusi. Bagi Safira tetangganya itu nyaman diajak ngobrol dan berdiskusi. Meski mereka beda generasi, namun Safira tak merasa canggung.
Namun hari ini Romlah merasa tak nyaman. Bagaimana pun juga Irianti tetangganya. Ia merasa tak enak jika harus mencampuri urusan mereka. Namun mengacuhkan Safira juga bukan pilihan bijak. Anak itu butuh sandaran, butuh tempat mencurahkan kebingungan, butuh teman.
"Mbak, Tante ingin menolong Mbak Safira, namun Tante juga tak mau ada salah faham dengan mama. Sebaiknya Mbak Safira ke Bu Nyai Masrifah saja, ya! Insyaallah ada solusi untuk Mbak Safira," ujar Romlah lembut dan hati-hati.
Bu Nyai Masrifah adalah pemilik pesantren yang ada di desa mereka. Beliau sangat disegani oleh semua orang di sana. Safira tak perlu transportasi menuju pesantren itu. Cukup berjalan kaki sepanjang 500 meter, ia akan sampai.
"Sangat disayangkan apa yang telah diucapkan mamanya Mbak Safira. Sebab mengungkit perbuatan baik itu sama halnya menghapus pahala dari perbuatan baik itu sendiri. Segala jerih payah merewat Mbak Safira sejak kecil jadi musnah akibat ucapan-ucapannya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِا لْمَنِّ وَا لْاَ ذٰى ۙ كَا لَّذِيْ يُنْفِقُ مَا لَهٗ رِئَآءَ النَّا سِ وَلَا يُؤْمِنُ بِا للّٰهِ وَا لْيَوْمِ الْاٰ خِرِ ۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَا نٍ عَلَيْهِ تُرَا بٌ فَاَ صَا بَهٗ وَا بِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَا للّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْـكٰفِرِيْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 264)
Sementara Safira tidur di sini dulu, di kamar anak-anak pesantren. Tapi tetap kabari mamanya agar tak cemas. Meski ia bukan ibu kandungmu, tapi ia telah merawat hingga Mbak Safira dewasa. Sebaiknya bersikap sopan dan tetap makruf kepadanya." Bu Nyai Masrifah memberi tausiyah panjang lebar kepada Safira.