PACARAN (MOTILANTHAHU): MEMBUKA PELUANG KEKERASAN SEKSUAL DAN PEMERASAN

PACARAN (MOTILANTHAHU): MEMBUKA PELUANG KEKERASAN SEKSUAL DAN PEMERASAN


Penulis: Arham Maulana

Seorang oknum polisi di Gorontalo diduga melakukan pemerasan dan persetubuhan terhadap seorang mahasiswi D3. Dilansir dari media lokal berjudul "Mahasiswi Diduga Jadi Korban Pemerasan-Persetubuhan Oknum Polisi Bone Bolango" (gopos.id, 30/05/2025), menurut keterangan paman korban, keduanya memiliki status sebagai pasangan pacaran dan hubungan itu diketahui oleh keluarga. Namun ironisnya, oknum polisi tersebut diduga memaksa korban beberapa kali melakukan hubungan layaknya suami istri dengan dalih janji akan menikahinya, disertai ancaman.

Korban yang tengah menempuh pendidikan di Makassar sempat diminta pulang ke Gorontalo dan tinggal di rumah pelaku selama beberapa hari tanpa sepengetahuan keluarga. Padahal, di rumah tersebut tinggal juga orang tua pelaku. Lebih miris, diketahui bahwa oknum polisi ini sudah memiliki istri yang tidak mengetahui hubungan gelap tersebut. Kasus ini telah dilaporkan dan kini tengah ditangani pihak berwenang.

Kejadian ini menyisakan pelajaran penting: syahwat bisa menjadi liar tanpa kendali bila tak dibatasi oleh aturan. Di sinilah pentingnya syariat Islam hadir untuk mengontrol dan mengarahkan bagaimana seharusnya nafsu disalurkan. Islam hanya mengizinkan penyaluran syahwat melalui pernikahan. Bahkan, demi memberikan solusi bagi laki-laki yang memiliki kebutuhan syahwat lebih, Islam membolehkan poligami—tentu dengan syarat dan ketentuan yang ketat. Poligami bukan hanya bentuk perlindungan bagi laki-laki dari zina, tetapi juga perlindungan bagi perempuan dari kerugian akibat hubungan tanpa status yang sah.

Sayangnya, bagi mereka yang berstatus pegawai atau aparat, praktik poligami nyaris tak mungkin dilakukan. Tidak ada jaminan, tunjangan, atau perlindungan hukum bagi selain istri pertama, membuat banyak orang enggan menjalaninya secara terbuka.

Aktivitas pacaran—yang di Gorontalo dikenal dengan istilah Motilanthahu—nyatanya membuka peluang besar terjadinya pelanggaran moral. Status pacaran sering dianggap sebagai legitimasi untuk melakukan berbagai tindakan bebas terhadap pasangan. Muncul anggapan seolah sudah saling memiliki: “Engkau milikku, aku milikmu.” Tidak ada lagi penghalang untuk bermesraan, baik dari keluarga, teman, bahkan rasa takut kepada Tuhan.

Selain itu, pacaran seringkali menjadi jalan menuju hubungan seksual di luar nikah, baik atas dasar suka sama suka maupun paksaan. Pelaku memanfaatkan bujuk rayu, gombalan, hingga janji akan dinikahi. Ketika permintaan hubungan intim ditolak, ancaman putus cinta pun dijadikan alat tekanan. Sering kali, pasangan akhirnya menyerah karena rasa cinta atau takut ditinggalkan.

Lebih tragis, ada yang sengaja berzina agar perempuan hamil duluan demi menekan biaya pernikahan. Pacaran pun menjadi modus pemerasan: bisa dari laki-laki ke perempuan atau sebaliknya. Banyak kasus korupsi yang terbongkar justru berawal dari hubungan asmara gelap antara pejabat dan wanita simpanan. Ketika keinginan tidak dituruti, hubungan rahasia dijadikan alat ancaman. Karier, reputasi, dan keluarga bisa hancur seketika.

Modus lainnya, awalnya hubungan intim dilakukan suka sama suka. Namun seiring waktu, laki-laki mulai melakukan pemerasan menggunakan foto atau video korban tanpa busana. Dari situ, perempuan dijadikan objek ancaman: diminta uang, diminta melayani nafsu kapan saja, di mana saja. Jika menolak, ancaman akan disebarkan aibnya ke media sosial atau ditinggalkan. Bahkan ketika sudah menikah pun, kekerasan bisa berlanjut.

Yang paling memprihatinkan, budaya pacaran ini telah dianggap biasa di masyarakat. Orang tua membiarkan anak laki-lakinya membawa pacarnya ke mana-mana, bahkan ada yang memfasilitasi anak perempuannya menginap di rumah pacar. Ini jelas melanggar norma agama dan kesusilaan. Tak heran, pacaran menjadi gerbang awal perbuatan keji dan munkar. Padahal masyarakat kerap mengklaim diri religius dan memegang teguh nilai adat dan budaya luhur. Masih pantaskah kita menyandang sebutan “Serambi Madinah” jika pacaran dianggap lumrah?

Budaya pacaran tumbuh subur dalam sistem kapitalisme-sekuler. Hedonisme dianggap wajar, liberalisme merasuki cara pandang. Bebas bergaul, bebas berpakaian, tontonan dan lagu berbau erotis disajikan bebas atas nama seni dan hiburan. Sementara syariat Islam dianggap kolot. Zina dibiarkan, tetapi pernikahan dini dipersulit. Orang tua kerap “menjual anak” dengan mematok mahar selangit. Sementara kajian remaja Islam dicurigai, komunitas pelajar dibatasi, para da'i dibuntuti, bahkan ajakan kepada Islam kaffah dikriminalisasi.

Semua ini terjadi di depan mata para pemangku kekuasaan, namun tak ada sanksi tegas, tak ada edukasi sistematis tentang pergaulan Islami. Para guru, da'i, dan orang tua hanya bisa memberi nasihat sambil mengelus dada.

Padahal Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

Nabi SAW pun bersabda:

لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما
Janganlah salah seorang di antara kalian berkhalwat dengan seorang wanita, karena sesungguhnya syaitan menjadi yang ketiga di antara mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban; dikutip dari muslim.or.id, 28/04/2008)

Khalwat bukan hanya terjadi secara langsung, tapi juga dalam ruang digital seperti chat pribadi, kecuali untuk urusan penting seperti muamalah, pendidikan, atau kesehatan.

Seorang Muslim semestinya menjadikan ayat dan hadits sebagai benteng iman. Tapi iman pun bisa melemah, karena itu perlu benteng kedua: lingkungan yang baik, komunitas dakwah yang saling menjaga. Jika itu jebol, harus ada benteng ketiga: sistem negara yang menegakkan aturan dan sanksi tegas.

Negara seharusnya mengatur larangan pacaran, khalwat, dan zina, bahkan memberi sanksi kepada keluarga yang membiarkan anak-anaknya pacaran. Sekolah dan lembaga pendidikan perlu diperkuat dengan UU yang melarang pacaran di lingkungan pendidikan. Ini adalah bagian dari amar makruf nahi munkar.

Dibutuhkan sanksi tegas sesuai syariat Islam: had (rajam, cambuk) atau ta’zir, untuk memberi efek jera. Aturan ini akan mencegah zina, kehamilan di luar nikah, perselingkuhan, dan kekerasan seksual—terutama di tengah tingginya angka pernikahan dini di negeri ini.

Namun semua itu tidak mungkin berlaku jika negeri ini masih tunduk pada sistem hukum buatan manusia. Sekularisme jelas menolak aturan Allah karena dianggap bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Padahal, hanya sistem Islam yang benar-benar menjaga kehormatan perempuan dan memuliakan mereka.

Dengan sistem Islam, tujuan syariat seperti menjaga nasab (hifzhun nasab), menjaga kehormatan, serta meraih berkah dan ridha Allah bisa terwujud.

Wallahu a’lam.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel