
WAHABI LINGKUNGAN VS WAHABI TAMBANG?
Kamis, 19 Juni 2025
Edit

Penulis: Aji | @sadar_bareng, Aktivis Dakwah
Pelabelan terhadap seseorang atau kelompok dengan cap negatif kerap digunakan oleh para elite di negeri ini. Akibatnya, tercipta stigma yang buruk di tengah masyarakat, hingga memunculkan perpecahan. Terlebih lagi, ketika pelabelan dilakukan dalam momen debat yang viral dan disaksikan masyarakat luas. Alih-alih menyampaikan data dan argumen, yang terjadi justru serangan pribadi. Bukan persatuan yang didapat, melainkan semakin menambah jurang perpecahan. Alhasil, masyarakat pun tidak memperoleh solusi atas permasalahan yang sedang dibahas.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Abshar Abdalla, atau yang akrab disapa Gus Ulil, baru-baru ini menjadi sorotan setelah melontarkan pernyataan kontroversial terkait aktivisme lingkungan.
Dalam sebuah diskusi di program televisi nasional yang mengangkat isu pertambangan, khususnya di wilayah sensitif seperti Raja Ampat, Gus Ulil menyebut kelompok penolak tambang seperti Greenpeace dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sebagai "wahabi lingkungan". Ia menyamakan sikap keras mereka terhadap eksploitasi sumber daya alam sebagai bentuk “ekstremisme ideologis” yang menurutnya serupa dengan puritanisme Wahabi karena menolak kompromi. “Kalau semua ditolak mentah-mentah tanpa opsi, tanpa ruang dialog, ini bisa seperti wahabi dalam aktivisme lingkungan,” ujarnya dalam diskusi tersebut.
Dengan definisi di atas, apakah kita juga bisa menyebut orang-orang atau kelompok yang propertambangan dan menolak kompromi di Indonesia sebagai “wahabi tambang”? Pelabelan semacam ini sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat. Ini bukanlah fenomena baru, melainkan sudah lama terjadi dan dijadikan tameng untuk membungkam mereka yang berbeda pendapat, bahkan hanya karena perbedaan pandangan. Contohnya adalah label “radikal” yang kerap diberikan kepada kelompok yang memiliki pandangan ideologis dan cenderung kritis terhadap kebijakan maupun peristiwa di Indonesia.
Hal serupa terjadi dengan pelabelan “Saya Pancasila, saya Indonesia”, yang seolah-olah menyiratkan bahwa pihak oposisi bukanlah bagian dari Pancasila atau bahkan dari Indonesia. Stigma semacam ini sangat berbahaya karena dapat memperluas jurang perpecahan serta menciptakan stereotip negatif terhadap individu atau kelompok yang berbeda.
Di tengah maraknya isu dan kebijakan kontroversial, seharusnya masyarakat disuguhkan dengan opini-opini yang menyatukan dan memajukan negeri, bukan yang memperlebar konflik. Sudah saatnya para elite negeri ini menyuguhkan data, fakta, dan solusi menyeluruh atas setiap permasalahan yang ada.
Dalam isu pertambangan di Raja Ampat, misalnya, seharusnya kita mampu menyuguhkan solusi tuntas atas persoalan tersebut. Hal itu harus diawali dengan membongkar akar masalahnya agar penyelesaian bisa dilakukan secara menyeluruh. Masyarakat tidak lagi dibingungkan dengan pilihan antara maslahat ekonomi atau mudarat akibat kerusakan alam.
Islam sejatinya telah memberikan solusi tuntas terhadap persoalan pertambangan, termasuk di wilayah seperti Raja Ampat. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Pertambangan termasuk dalam kategori kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara, atau oleh pihak swasta atas nama negara jika negara belum mampu. Namun, pengelolaannya wajib diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara luas karena hasil tambang itu milik mereka.
Inilah akar persoalan tambang di Indonesia, termasuk tambang nikel di Raja Ampat. Sistem kapitalisme menjadi pangkal masalah, karena dalam sistem ini kepemilikan bersifat bebas. Siapa pun yang memiliki modal bisa menguasai sumber daya apa pun, termasuk tambang. Ketika tambang dikuasai oleh individu atau kelompok, bukan masyarakat secara umum, maka eksploitasi pun menjadi liar. Tak ada batasan, tak ada pertimbangan dampak lingkungan. Akibatnya, pengelolaan tambang menjadi carut-marut, kerusakan terjadi di mana-mana, sementara pemilik modal semakin kaya dan rakyat hanya menjadi penonton.
Padahal, menurut para ahli, potensi pertambangan Indonesia sangat besar. Jika dikelola dengan sistem Islam yang adil, bukan hanya bisa membiayai APBN secara surplus, tetapi juga menciptakan kesejahteraan nyata. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan bisa dinikmati rakyat secara gratis dan berkualitas. Bahkan, utang negara pun dapat dilunasi dengan mudah.
Oleh karena itu, sudah saatnya para elite negeri ini berhenti menyulut perpecahan melalui pelabelan negatif. Sebaliknya, mereka perlu mulai menyuguhkan solusi berbasis sistem Islam yang menjamin keadilan dan kesejahteraan. Hanya dengan meninggalkan sistem kapitalisme yang merusak, dan beralih kepada sistem Islam yang menyatukan serta mensejahterakan, Indonesia bisa keluar dari krisis multidimensi yang kini dihadapinya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber:https://www.djabarpos.com/gus-ulil-sebut-greenpeace-dan-walhi-wahabi-lingkungan-kritik-mengalir-deras/