
BANJIR SAMARINDA SEMAKIN MELUAS, MAU SAMPAI KAPAN?
Selasa, 03 Juni 2025
Edit

Penulis: Aji | @sadar_bareng, Aktivis Dakwah
Dalam sebulan terakhir, tepatnya pada 21 dan 27 Mei 2025, Kota Samarinda yang dikenal sebagai kota tepian kembali dilanda banjir besar. Sebanyak 36 titik dilaporkan terdampak banjir, ditambah 5 titik longsor serta pohon tumbang yang bahkan menelan korban jiwa.
Pada Selasa, 27 Mei 2025, sejak pukul 04.00 WITA, hujan dengan intensitas sedang hingga lebat mengguyur kota selama berjam-jam tanpa jeda. Akibatnya, sebagian wilayah kota tergenang banjir. Kondisi ini semakin memburuk karena genangan air menyebar lebih luas dibandingkan banjir-banjir yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, seperti yang dirasakan masyarakat Samarinda. Dampaknya pun signifikan: lalu lintas lumpuh dan aliran listrik di sejumlah wilayah terpaksa dipadamkan.
Bersamaan dengan itu, air pasang Sungai Mahakam turut memicu fenomena backwater, yakni aliran sungai yang berbalik arah ke anak-anak sungai seperti Sungai Karang Mumus (SKM) dan lainnya. Fenomena ini memperparah genangan, terutama di kawasan dataran rendah Kota Samarinda.
Dr. Warsilan, seorang ahli tata kota, menjelaskan bahwa kombinasi faktor-faktor tersebut membuat Samarinda sulit lepas dari bencana banjir. Menurutnya, banjir ini terjadi karena penutupan lahan akibat maraknya pertambangan dan pembangunan perumahan, pelemahan fungsi hutan, serta masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan.
Lebih lanjut, Dr. Warsilan menegaskan bahwa peran pemerintah sangat penting untuk mengatasi banjir di Samarinda. Pemerintah harus mampu mengatur tata kelola pembangunan secara ketat, mengembalikan fungsi hutan, memberantas tambang ilegal, membangun infrastruktur yang terintegrasi, serta mendisiplinkan kebiasaan buruk masyarakat seperti membuang sampah sembarangan dan abai terhadap lingkungan.
Namun demikian, solusi yang disampaikan para pakar, meskipun sudah sering terdengar dan telah diupayakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda selama beberapa tahun terakhir, tampaknya belum membuahkan hasil yang signifikan. Banjir justru semakin meluas dan intensitasnya meningkat. Ia bukan lagi banjir tahunan (klasik) yang hanya terjadi sekali setahun, melainkan kini bisa terjadi dua hingga tiga kali dalam satu tahun. Akibatnya, masyarakat selalu diliputi kekhawatiran setiap kali hujan deras turun.
Solusi yang dijalankan Pemkot Samarinda selama ini hanyalah solusi praktis atau solusi permukaan. Maka tak heran jika hasilnya pun hanya bersifat jangka pendek. Solusi tersebut tidak menyentuh akar persoalan. Pemerintah hanya fokus pada peninggian dan pengecoran jalan, pelebaran drainase, pembangunan kolam retensi, normalisasi Sungai Mahakam dan anak-anak sungainya, serta penghentian beberapa aktivitas tambang ilegal. Padahal, akar kerusakan alam yang menjadi penyebab utama banjir adalah aktivitas industri besar, terutama sektor pengelolaan sumber daya alam (SDA) seperti tambang yang dikuasai oleh para oligarki.
Selama pengelolaan tambang di Indonesia diberikan kepada individu atau kelompok tertentu, maka mereka akan dengan leluasa mengeksploitasi SDA tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Akibatnya, masyarakat Samarinda hanya mendapatkan bagian dari kerusakan alamnya, bukan manfaat ekonominya.
Akar persoalan ini bersifat sistemik, dan hanya bisa diselesaikan dengan solusi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan diatur dengan jelas. Tambang dan SDA lainnya termasuk dalam kepemilikan umum atau milik rakyat, yang harus dikelola oleh negara demi kemaslahatan masyarakat, bukan untuk keuntungan segelintir pihak. Jika negara belum mampu mengelolanya secara langsung, maka ia boleh mempekerjakan pihak swasta untuk mengelolanya, tanpa memberikan kepemilikan kepada individu atau kelompok tertentu.
Dengan pengelolaan tambang berbasis sistem ekonomi Islam, eksplorasi SDA akan terkendali, dan hasilnya akan digunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Ini akan menciptakan pemerataan ekonomi. Tidak seperti sekarang, di mana kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta rakyat Indonesia. Padahal, dengan potensi SDA yang dimiliki Indonesia, khususnya Samarinda, seharusnya kita bukan hanya bebas dari banjir, tetapi juga bebas dalam hal pendidikan, kesehatan, dan berbagai kebutuhan dasar lainnya.
Belum lagi jika sistem-sistem lain dalam Islam diterapkan secara menyeluruh, seperti sistem pendidikan, sistem hukum, sistem politik luar negeri, dan sistem pemerintahan. Maka akan terwujud kesejahteraan dan keadilan, bukan hanya untuk satu wilayah, tapi hingga ke seluruh penjuru dunia.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita sebagai masyarakat, termasuk pemerintah, menerapkan solusi Islam dalam kehidupan individu, kehidupan bermasyarakat, hingga kehidupan bernegara.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Source:3. https://insitekaltim.com/dua-kali-banjir-sebulan-wali-kota-samarinda-minta-kritik-disertai-solusi.