
KUPAS TUNTAS AFGHANISTAN DAN TALIBAN: MENIMBANG KEMENANGAN TALIBAN SEBAGI STAPPING STONE TEGAKNYA KHILAFAH
Selasa, 21 September 2021
Edit

Oleh: Ustadz Salim Supangkat
Keunggulan Financial dan Geopolitik Afghanistan
Jatuhnya Kabul, ibu kota Afghanistan, mengundang ragam pembahasan bagaimana masa depan negeri yang terletak di kawasan Asia Tengah ini. Afghanistan terletak di persimpangan jalan antara Timur dan Barat, antara Eropa dan Asia, dalam arti lalu lintas budaya maupun perdagangan. Nilai strategis Afghanistan dari segi lokasi geografis adalah di perbatasan Timur Laut terdapat celah Khyebar yang menghubungkan antara Afghanistan dan Pakistan. Di utara terdapat celah Salang, gerbang yang menghubungkan Afghanistan dengan Tajikistan.
Dibalik kerasnya medan geografis disana, ternyata Afganistan menyimpan cadangan litium terbesar di dunia. Bahkan dianalogikan sebagai "Saudi Arabia of lithium" ( Arab Saudinya litium), maksudnya jika Arab begitu besar cadangan minyaknya, maka Afganistan begitu besar cadangan litiumnya. Sedangkan kita tahu bahwa litium adalah bahan dasar energi hijau yang saat ini digaungkan dunia untuk mengurangi emisi gas karbon, misal batere untuk mobil listrik yang saat ini sedang tren. Bisa dibayangkan betapa berharganya Afganistan di mata dunia, terutama para negara corporate adidaya.
Data penting tersebut ternyata telah dikumpulkan oleh para ahli pertambangan Uni Soviet yang sejak perang dingin menguasai Afghanistan pada 1980-an. Pada 2010, menurut para ahli geologi AS, nilai kandungan mineral itu jauh melampaui cadangan yang diketahui sebelumnya. Tambang itu diyakini bisa mengubah nasib ekonomi Afghanistan. Bahkan para pejabat AS percaya Afghanistan bisa menjadi pusat dunia pertambangan. Dan harta karun Afganistan tersebut ditaksir 14 kuadriliun. New York Times, Sabtu (28/8/2021). Tak berlebihan jika Deutsche Welle, Rabu, (18/08/2021), mengatakan bahwa Taliban yang kini berkuasa di Afghanistan, sekarang punya keunggulan finansial dan geopolitik yang dahsyat. (kontan.co)
Menjadi Objek The Great Game Para Adikuasa.
Ketika dinasti Ummayah berhasil menaklukkan Persia pada 642, maka Afghanistan pun termasuk daerah taklukan, sehingga sejak itu Afghanistan menjadi benteng Islam. Pada 1219 karena seluruh kawasan Asia Tengah jatuh ke tangan Mongol, maka beberapa kota yang sekarang masuk wilayah Afghanistan seperti Herat, Ghazni, dan Balk, jatuh ke tangan Mongol.
Pada 1747, seorang kepala suku Pathan bernama Ahmad Shah Durrani memimpin pemberontakan, dan berhasil menyatukan suku-suku yang ada, dan mendirikan Afghanistan sebagai sebuah kerajaan bersatu, setelah gubernur Persia di Afghanistan Nadir Shah dikalahkan di Khabushan. Namun pada 1842 dinasti Durrani digulingkan dan digantikan dinasti Barakzai. Pada masa kekuasaan dinasti Durrani inilah Afghanistan membentang dari Mashad di iran sampai ke Delhi di India sekarang. Dari sungai Amu Darya (Oxus) di punggung Himalaya sampai ke Laut Arab.
Namun kekuasaan tersebut menyusut dengan masuknya Inggris lewat East India Company (EIC). Sejak 1747 inilah dua negara besar, Inggris dan Rusia, mulai terlibat dalam apa yang disebut sastrawan Inggris Rudyard Kipling, the Great Game berebut ruang pengaruh di Afghanistan. Inggris didorong motivasi memperluas kekuasaan maritimnya di perairan Asia dan Afrika. Adapun Rusia memandang Afghanistan sebagai pintu keluar menuju ke Samudra Hindia dan Pasifik. Sebagai hasil dari perang Inggris dan Rusia berebut Afghanistan antara 1839-1842 dan 1878-1880, Inggris berhasil menguasai daerah selatan pantai Laut Arab, dan sekarang menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Pakistan. Sejak periode itu maupun di era Perang Dingin 1950-1989, Afghanistan merupakan medan proksi antara Inggris dan Rusia, meskipun kemudian beralih menjadi Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) versus Rusia dan Cina.
Ketika Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada 1979,maka sejak itu rakyat Afghan dari berbagai etnik bersatu dalam sebuah organisasi gerakan Mujahidin untuk melawan invasi Uni Soviet. Selama masa perang melawan Soviet, para Mujahidin Afghan mendapat bantuan pelatihan intelijen, operasi dan dukungan persenjataan serta logistik dari badan intelijen Amerika Serikat (AS), CIA. Ketika gerakan perlawanan Mujahidin berhasil memaksa tentara Soviet mundur dari Afganistan, maka bibit pertikaian internal di dalam tubuh Mujahidin mulai muncul.
Pertikaian dengan berbagai nuansa, pertikaian antara kaum moderat dengan fundamentalis, antara Mujahidin dengan bekas kolaborator asing yang kini memihak perjuangan rakyat, dan antara kecenderungan untuk menegakkan sistem dan hukum seperti di Barat yang sekuler berhadapan dengan kelompok fundamentalis Islam.
Taliban dan Sepak Terjangnya
Taliban sendiri sejatinya merupakan gerakan pelajar Islam (Al Harakah al Islamiyah al Thalabah Madaris al Diniyah), yang berasal dari madrasah di Kandahar dan sebagian belajar di Pakistan. Madrasah-madrasah di Afghanistan merupakan kunci penting untuk menjelaskan asal-muasal gerakan Taliban. Salah satu figur yang terkenal dalam mempromosikan jihad Afghan saat itu adalah Abdullah Azzam. Ia membuka jalan bagi para pemuda Islam untuk bisa mempersembahkan semangat-nya pada perjuangan jihad. Berlakunya kondisi yang cocok bagi para pejuang Arab di Afghanistan tersebut, membuat Afghanistan telah berubah menjadi lumbung pergerakan jihad internasional.
Selain itu, para pengamat menyebut bahwa Taliban diinspirasi oleh sebuah aliran yang disebut sebagai aliran Deobandi. Sebuah “mazhab” yang berasal dari madrasah di India utara, Deoband Darul ‘Ulum, yang telah berdiri sejak tahun 1866. Pada penjuru abad 19, madrasah ini berubah. Kepala madrasah yang baru, Mahmud Hasan (1851-1921) dan para pelajar seperti Husain Ahmad Madani (1879-1957), juga Ubaidullah Sindhi (1872-1944) menunjukkkan ide-ide politik yang menantang kekuasaan Inggris, yang mereka pandang sebagai sebuah rintangan besar bagi kebenaran Islam di India dan dunia Islam secara umum.
Visi politik yang dianut Taliban, serta pandangannya yang menjelaskan bahwa Taliban menolak pemisahan antara negara dan agama (Islam). Para pelajar Deoband, secara khusus, identik dengan garis ideologis pemerintahan Khilafah Ustmani di Turki. (Dietrich Reetz, “Change and Stagnation in Islamic Education: The Dar al-‘Ulum of Deoband after the Split in 1982”, dalam Farish A. Noor, Yoginder Sikand & Martin van Bruinessen (ed.), The Madrasa in Asia: Political Activism and Transnational Linkage, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008, hlm. 73)
Selanjutnya menurut penuturan Mullah Muhammad Omar, kelahiran Taliban dilatarbelakangi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal karena adanya kegelisahan mereka terhadap perpecahan umat, konflik dan saling bunuh antara Sunni dan Syiah yang sesama Muslim, demoralisasi di kalangan para pemimpin pemerintahan, dan korupsi, yang justru semakin merebak pasca penarikan mundur tentara Soviet.
Adapun faktor eksternal, karena adanya tekanan Pakistan yang ingin agar sekutu utamanya selama gerakan perlawanan terhadap Soviet, yaitu Ahmad Shah dan Masood, bisa memegang kekuasaan di Afghanistan dengan dukungan dari AS. Jadi taliban didirikan oleh para santri militan di Kandahar, sebuah kota di seberang perbatasan Pakistan, pada Juli 1994. Meskipun baru diproklamirkan pada Oktober 1994. Dari Kandahar inilah milisi Taliban melancarkan serangan-serangan ke kota-kota di Afghanistan dan akhirnya berhasil merebut Kabul, menumbangkan pemerintahan Burhanudin Rabani dan mengusir pasukan mereka ke utara sampai ke lembah Pansjher di perbatasan Tajikistan.
Sejak saat itu kekuatan anti-Taliban yang terusir dari Kabul itu kemudian membentuk satu organisasi yang mereka namakan “Aliansi Utara.” Sementara itu Taliban praktis sejak 1996 resmi berkuasa di Afghanistan dan membentuk pemerintahan Imarah Islam Afghanistan. Dengan menegakkan Syariat Islam sebagai dasar negara.
Namun situasi berbalik 180 derajat ketika terjadi pemboman gedung World Trade Center di New York, AS, pada September 2001. Oleh karena Taliban dianggap melindungi Osama bin Laden dan Al-Qaeda di Afghanistan yang dituding Gedung Putih sebagai aktor intelektual aksi teror terhadap gedung WTC maupun Pentagon, maka Presiden George W Bush memutuskan untuk menginvasi Afghanistan dengan dalih War on Terror atau perang terhadap terorisme.
Walaupun pada faktanya, selain faktor ideologi, masuknya AS ke Afganistan memiliki motif ekonominya yang sangat dominan. Tepi Kaspia berada di wilayah Asia Tengah yang mencakup Turkmenistan, Uzbekistan dan Kazakstan, dan disinyalir mengandung 300 trilyun kaki kubik gas dan 100-200 milyar barel minyak. Mengamankan sumber energi besar ini merupakan prioritas strategis bagi negara-negara Barat, yang pada saat bersamaan akan sedikit mengamankan mereka dari pesaing Cina.
Namun hanya ada dua jalan praktis untuk mentransport gas dan minyak dari Asia Tengah ke laut: melalui Iran, atau melalui Afghanistan menuju Pakistan. Bagi Washington, Iran masih merupakan tabu. Dengan demikian pilihannya tinggal Pakistan, dan untuk mencapainya jalur pipa yang disiapkan harus melalui barat Afghanistan, termasuk kota Heart dan Kandahar. Pada tahun 1998, gerakan anti-komunis Afghanistan, Taliban, dan sebuah konsorsium perusahaan minyak barat yang dipimpin oleh perusahaan AS Unocal menandatangani sebuah kesepakatan pembangunan jalur pipa besar. Unocal mengucurkan dana dan perhatian pada Taliban, mengundang delegasi senior mereka ke Texas, serta mempekerjakan seorang pejabat Afghan bernama Hamid Karzai, yang nantinya ditanam menjadi presiden boneka AS.
Di sisi lain, Osama bin Laden menyarankan para pemimpin Taliban untuk menolak kesepakatan tersebut dan mempersuasinya untuk menerima tawaran yang lebih baik dari konsorsium minyak Argentina, Brida. Washington kecewa akan hal ini dan menurut beberapa informasi, mereka mengancam untuk memerangi Taliban. Pada awal 2001, enam atau tujuh bulan sebelum 11 September, Washington membuat keputusan untuk menginvasi Afghanistan, menggulingkan Taliban, dan mencangkokkan ke negara tersebut rezim “klien” yang akan membangun jalur pipa yang direncanakan.
Namun demikian, Washington terus mengucurkan dana kepada Taliban hingga empat bulan sebelum 11 September untuk menjaganya tetap di pihak yang sama jika sewaktu-waktu sampai terjadi perang dengan Iran. Serangan 11 September, di mana Taliban tidak mengetahui apapun mengenainya, memberikan alasan untuk menginvasi Afghanistan. Justifikasi awal AS adalah untuk menghancurkan Osama bin Laden dan al-Qaida. Namun setelah 300 pasukan diberangkatkan ke Pakistan, AS tetap bertahan, membangun pangkalan, yang secara kebetulan berada di dekat jalur pipa yang direncanakan, dan menempatkan “konsultan” Unocal Hamid Karzai sebagai pemimpin.
Washington menyembunyikan geopolitik energinya dengan mengklaim bahwa pendudukan Afghanistan bertujuan untuk memerangi “terorisme Islam”, membebaskan wanita, membangun sekolah-sekolah dan mempromosikan demokrasi. Ironisnya, klaim tersebut persis dengan yang digunakan Soviet ketika menduduki Afghanistan dari 1979-1989. https://www.wsws.org/en/articles/2001/11/afgh-n20.html
Rencana pembangunan pipa minyak tersebut akan segera dijalankan begitu Taliban dibersihkan dari area yang bersangkutan oleh pasukan AS, Kanada dan NATO. Seorang analis AS, Kevin Phillips menulis bahwa kekuatan militer AS dan sekutunya telah berubah menjadi “kekuatan pengaman energi”. Arti minyak yang begitu penting bagi AS ini diungkapkan dalam komentar salah seorang penulis artikel berikut: “Dalam dunia modern tempat kita tinggal, energi lebih berharga daripada darah. AS adalah kekuatan besar dengan kebutuhan energi yang masif. Dominasi atas minyak adalah pilar kekuatan global AS. Afghanistan dan Irak, karenanya, hanyalah bagian dari permainan besar untuk mengontrol minyak tersebut. https://www.lewrockwell.com/2008/06/eric-margolis/iraq-afghanistan-and-big-oil/
Sekarang 20 tahun setelah invasi AS ke Afghanistan dan tumbangnya pemerintahan Imarah Islam Afghanistan yang dimotori Taliban, Taliban kembali menguasai Kabul dan sebagian besar provinsi di Afghanistan. Sekitar lima ribu tentara dikerahkan untuk membantu evakuasi diplomat AS dari Kabul, yang sudah dikepung kelompok Taliban.
Kuburan Dua Adidaya
Hanya dalam kurun 42 tahun terakhir, dua kekuatan dunia (Uni Soviet dan Amerika—beserta sekutunya yang tergabung dalam organisasi NATO), harus menderita pahitnya kekalahan di bumi Afganistan. Demikian pula, 20 tahun lalu, Amerika mengabaikan berbagai fakta mengenai Afganistan, seperti sejarahnya, medannya yang sulit, pola hidup yang sederhana dan kesukuannya, serta jihad dan pengorbanan rakyatnya. Yang terpenting dari itu, Amerika mengabaikan bahwa orang-orang di negeri ini bangga akan akidah mereka.
Amerika tampaknya tak belajar dari pengalaman kelabu Uni Soviet yang dulu bangkrut akibat invasi ke Afghanistan. Persis pada malam Natal 24 Desember 1979, Soviet menginvasi negeri itu atas permintaan rezim komunis Afganistan Nur Muhammad Taraki. Soviet mengerahkan 30.000 tentara dengan didukung tank, senjata berat, dan pesawat tempur. Soviet akhirnya terjebak dalam perang berkepanjangan. Selama 10 tahun (1979-1989), Soviet kehilangan 14.453 tentara, 118 pesawat, 333 helikopter, dan 147 tank. Biaya yang dikeluarkan juga ratusan juta dollar.
Walhasil, 15 Februari 1989 dengan kehilangan muka, Soviet harus angkat kaki dari Afganistan.Kebangkrutan akibat perang telanjur menjadi salah satu faktor keruntuhan negeri komunis Soviet. Seiring munculnya revolusi damai Glasnost and Perestroika (Perubahan dan Keterbukaan) yang dicanangkan Mikhail Gorbachev tahun 1991.
Namun, meskipun mengetahui segalanya, Amerika dengan arogan tetap menyerang dan menduduki Afganistan. Amerika telah menggunakan segala cara untuk menipu sebagian dunia di bawah klaim palsu “perang melawan teror”, yang sebenarnya adalah perang melawan Islam dan kaum muslimin dengan memobilisasi mereka di bawah slogan-slogan omong kosong, seperti demokrasi, kebebasan, negara berkembang, pembangunan negara, rekonstruksi, hak asasi manusia, hak asasi perempuan, dan hak kelompok minoritas.
Dengan dalih ini, minoritas penguasa boneka di antara negeri Afganistan—yang disebut sebagai pemimpin politik dan militer—dipaksakan keberadaannya melalui pembentukan pemerintah yang cacat. Jika bukan karena dukungan kekuatan imperialis Barat, hal itu tidak akan terjadi, bahkan mereka tidak akan mampu untuk bertahan selama satu hari pun di antara kaum muslimin Afganistan.
AS memang memiliki daya tahan lebih lama dibanding Soviet. Sebab dulu Soviet menanggung sendiri biaya perangnya, sedangkan AS melakukan keroyokan. Namun pasukan koalisi AS dan sekutu Baratnya, terbukti tak mampu meredupkan apalagi mengalahkan Taliban. Sejak operasi militer tahun 2001, lebih dari 3.500 pasukan koalisi tewas, sekitar 2.300 di antaranya tentara AS, dan lebih 450 adalah tentara Inggris. Lebih dari 20.660 tentara AS cedera. Angka itu menjadi lebih besar jika ditambah aparat keamanan pemerintah Afghanistan “bentukan” Amerika, yang sampai tahun 2019 lebih dari 64.100 tewas. Angka-angka itu akan terus membengkak jika ditambah anggaran periode September 2019- Juli 2021. Apalagi jika diakumulasi dengan pengeluaran sekutu AS di Afghanistan, seperti Inggris dan Jerman yang menghabiskan USD 30 miliar (Rp 431 triliun) dan USD 19 miliar (Rp 273 triliun).
Total Amerika telah menghabiskan lebih dari $2 triliun di tanah Afganistan (Rp28,6 kuadriliun) ,data yang diungkap The Washington Post. Kehilangan sekitar 2.500 tentara dan lebih dari 20.000 terluka, puluhan ribu dari mereka meninggalkan tanah ini dengan trauma psikologis yang mendalam. Banyak yang bunuh diri dan lainnya hidup menderita dengan penuh rasa bersalah, trauma, serta cacat dan luka-luka akibat kejahatan, kekejaman, dan teror yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang tak berdosa dan tak berdaya.
Ketika Amerika menyadari kekalahan militernya yang memalukan di Afganistan, Amerika segera melupakan janji-janji palsunya kepada para pembayar pajak Amerika, rakyat Afganistan, dan agen-agennya tentang penarikan tanpa syarat dari negara itu. Selain itu, Amerika memimpin permainan untuk mencapai tujuannya, yakni melalui perbincangan kedamaian dan kesepakatan dengan Taliban, yang tidak dapat dicapai selama 20 tahun perang.
Perjanjian Doha Untuk Menaklukan Taliban?
Perang dua dekade ini telah menyebabkan AS dan sekutunya lelah bahkan frustasi. Tak ingin terperosok pada kebangkrutan sebagaimana dialami “mendiang” Soviet, sejak Trump berkuasa, AS mencoba keluar dari Afganistan. Eks Afghanistan Foreign Fighters, Abu Tholut, mengatakan keluarnya Amerika Serikat dari Afghanistan sudah direncanakan sejak lama. “Perlu diketahui, keluarnya Amerika dari Afghanistan sesuai perjanjian Doha, jauh sebelumnya sudah dipikirkan,” kata Abu Tholut dalam diskusi yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI, Sabtu, 21 Agustus 2021. Keinginan AS keluar itu kemudian diproses hingga akhirnya ditandatangani perjanjian pengiriman perdamaian Afghanistan antara AS dan Taliban di Doha, Qatar.
AS dan Taliban menandatangani kesepakatan pada 29 Februari 2020, di Sheraton Grand Doha, Doha, Qatar, membuka jalan bagi pasukan asing untuk menarik diri dari Afghanistan, pembebasan tahanan, mengeluarkan para pemimpin Taliban dari daftar hitam, dan menuntut dukungan internasional untuk membangun kembali negara itu. Mengenai apa saja rincian isi perjanjian damai AS-Taliban, berikut adalah poin-poinnya:
1. AS tarik mundur pasukannya secara bertahap. AS akan menarik semua personil militernya dari Afghanistan secara bertahap dalam 14 bulan ke depan.2. AS lepas tahanan perang pada 10 Maret Sebanyak 5.000 tahanan perang dan politik Taliban dan 10 ribu tahanan lainnya akan dilepas AS mulai 10 Maret 2020, tepat ketika negosiasi intra-Afghanistan digelar. Pihak-pihak terkait harus menunaikan kewajiban ini dalam tiga bulan. AS sudah berkomitmen untuk melakukannya, dan Taliban juga berkomitmen tahanan yang dibebaskan tidak akan melancarkan serangan ke AS, sekutu, serta koalisi3. Sanksi AS untuk anggota Taliban akan dihapus dengan dimulainya perjanjian intra-Afghanistan, AS diharuskan meninjau daftar administrasi sanksi dan hadiah untuk anggota Taliban, dan sanksi tersebut akan dihapus pada 27 Agustus 2020. AS juga akan memulai keterlibatan diplomatik dengan anggota Dewan Keamanan PBB dan Afghanistan, untuk menghapus anggota Taliban dari daftar sanksi, paling lambat 29 Mei 2020.4. Taliban akan mengirim pesan ke semua pihak yang mengancam keamanan AS, dan menekankan anggota-anggotanya agar tidak bekerja sama dengan siapa pun yang mengancam keamanan AS beserta sekutunya. Taliban juga tidak akan membiarkan terjadi perekrutan, pelatihan, dan penggalangan dana, juga tidak akan memfasilitasi hal-hal tersebut sesuai dengan perjanjian damai yang telah terjalin. Kemudian, Taliban juga akan memberikan suaka atau tempat tinggal di Afghanistan sesuai hukum migrasi internasional, sehingga orang-orang tersebut tidak menjadi ancaman keamanan AS serta sekutunya. Kepada mereka yang mengancam keamanan AS serta sekutunya, Taliban juga tidak akan memberi visa, paspor, dan izin perjalanan untuk memasuki Afghanistan.5. Pengesahan PBB dan rencana ke depan AS akan meminta pengesahan dan pengakuan dari PBB terkait perjanjian damai ini. Dengan demikian, AS bersama Taliban berharap hubungan antara AS dengan Afghanistan akan membaik seiring dibentuknya penyesuaian di pemerintahan Afghanistan lewat perundingan intra-Afghanistan. Negara yang dipimpin Joe Biden ini juga akan menjalin kerja sama ekonomi untuk melakukan rekonstruksi dengan pemerintah Afghanistan sebagaimana ditentukan di negosiasi intra-Afghanistan, dan AS tidak akan campur tangan di dalamnya.
Transforamasi Penjajahan dari Militer Menuju Neoliberalisme
Amerika dan Barat sangat tahu umat Islam masih lemah di kesadaran politik sehingga bisa ditipu dan disesatkan. Sehingga Amerika beralih dari pendekatan militer ke negosiasi politik yang dia kuasai, faktor-faktor yang menjebak Afghanistan dapat kembali dalam penjajahan Amerika adalah penjajahan politik dan ekonomi. Pertama, dari sistem kenegaraan nanti akan menjadi indikator, apakah Afghanistan akan mengadopsi sekularisme dan liberalisme atau tidak. Jika mengadopsi sekularisme dan liberalisme atau mencampurkan antara Islam dengan sekularisme dan liberalisme itu artinya akan masuk dalam jebakan politik.
Kedua, apakah Afghanistan akan melakukan hubungan dengan penjajah yang sebenarnya musuh-musuh umat Islam. Apakah nanti Afghanistan justru menjalin hubungan dengan Amerika? Misalnya dalam bentuk ekonomi. Ini berarti sudah terjebak dalam jebakan politik Amerika. Atau, apakah nanti Afghanistan juga menjalin hubungan dengan Cina? Ini juga akan menjebak. Karena Cina ini adalah musuh umat Islam. Dia punya kepentingan. Apalagi kalau kemudian tawar menawarnya dengan nasib Muslim Uighur. Ini sangat berbahaya.
Ada dua kepentingan Cina sebenarnya. Pertama, kepentingan politik itu terkait dengan ancaman Islam karena berbatasan dengan Turkistan Timur atau Xinjiang. Kedua, kepentingan ekonomi yakni Cina ingin membangun kembali jalur sutra dalam proyek one belt one road (OBOR) atau yang kini telah direvisi menjadi proyek belt and road initiative (BRI). Jalur sutra itu melewati Afghanistan. Kalau nanti Afghanistan menjalin hubungan dengan Cina berarti masuk jebakan politik yang akan menjerumuskan Afghanistan ke dalam penjajahan baru.
Ketiga, apakah Amerika melepaskan kontrol dari pemain-pemain regional? Pemain-pemain regional yang selama ini sering digunakan oleh Amerika untuk kepentingannya. Apakah Afghanistan nanti bekerja sama dengan Pakistan? Pakistan ini belakangnya pasti Amerika. Apakah Afghanistan nanti akan bekerja sama dengan Iran, termasuk Turki dan sebagainya? Nah kalau masuk dan ikut di bawah kendali pemain-pemain regional ini. Sementara pemain-pemain regional ini di belakangnya adalah Amerika. Ini adalah jebakan politik.
Keempat, sistem negara. Apakah Afghanistan ke depan membatasi sistem negara nation state atau imarah Islam? Al-Imarat al-Islamiyah fii Afghanistan itu sebenarnya negara yang basisnya nation state. Negara yang berbasis regional atau teritorial. Ini yang membedakan dengan al-khilafah al-islamiyah. Al-khilafah al-islamiyah itu adalah negara untuk kepentingan umum bagi umat Islam di seluruh dunia. Kalau Afghanistan mengadopsi al-imaratul al-islamiyah ini, maka ini juga menjadi jebakan politik.
Menurut Farid Wajdi, ini sebenarnya yang pernah disesali oleh pemimpin Taliban sebelumnya, Mullah Umar. “Mullah Umar pernah ditawarkan oleh gerakan Islam Hizbut Tahrir Afghanistan agar menegakkan khilafah. Pada waktu itu Mullah Umar menolak. Tapi kemudian, dalam satu pertemuan, Mullah Umar mengatakan bahwa penolakannya terhadap khilafah disesali oleh Mullah Umar. Karena dengan membatasi hanya pada al-imaratul al-islamiyah itu akan menjadikan persoalan yang ada di Afghanistan itu hanya persoalan regional saja. Bukan menjadi persoalan umat Islam di seluruh dunia,” ujarnya.
Itulah jebakan-jebakan politik yang mungkin terjadi. Tentu, kita tidak berharap Afghanistan menempuh jalan-jalan jebakan politik itu. Rakyat Afghanistan dengan Taliban sudah menang secara militer dengan prinsip jihad fisabilillah. Tantangan berikutnya itu adalah menang secara politik. (Farid Wajdi, Media Umat)
Saat ini, menurut beberapa sumber, masih tersisa 10 persen wilayah yang dikuasai aliansi Utara di daerah perbatasan dengan Tajikistan. Akan masih ada episode cerita yang berlanjut. Kalau dilihat dari skenario yang ada, maka ada kemungkinan di dalam Taliban juga akan pecah antara yang mengikuti perjanjian dengan yang tidak mengikuti perjanjian. Pertanyaan pentingnya adalah apakah setelah berkuasanya kembali Taliban, konfigurasi kekuatan global masih tetap sama seperti yang sudah-sudah?
Yang jelas, persekutuan Pakistan dan Cina yang berbatasan langsung dengan Afghanistan, saat ini semakin solid. Iran yang berbatasan langsung dengan Afghanistan juga semakin menjalin kemitraan strategis dengan Cina. Adapun Uzbek dan Tajik yang juga berbatasan dengan Afghanistan, Rusia tetap menjalin kontak yang erat dengan kedua etnik tersebut melalui skema Aliansi Utara.
Adanya dorongan kuat dari kekuatan-kekuatan eksternal yang sedang berupaya mendesakkan adanya menata ulang lanskap di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan. Dengan begitu maka Cina, Rusia maupun AS punya peluang dan probabilitas yang sama untuk memainkan kartu truf-nya masing-masing.Karena itu, dalam memprediksi terciptanya Global Realignment turut berkuasanya kembali Taliban, sangat ditentukan oleh konstelasi dan konfigurasi tiga negara besar AS-Rusia-Cina di Asia Selatan saat ini. (Hendrajit , obbsesinew,com)
Dalam the great game di Afghanistan, mundurnya AS dalam jangka pendek bisa dibaca sebagai kekalahan militer, tapi belum tentu merupakan kekalahan politik dalam memenangkan tujuan perang secara nonmiliter dalam jangka panjang .
Menimbang Kemenangan Taliban Sebagai Batu Loncatan Tegakhnya Syariah dan Khilafah
Kemenangan dan kegembiraan tidak boleh menutup diri pada apa yang diwajibkan terhadap umat Islam di dunia, yaitu Khilafah. Sementara itu bentuk khilafah juga sudah ditentukan oleh syariat. Pertama adalah kekuatan kekuasaannya harus di tangan Muslim yang mampu memerintah sendiri atau otonom. Kedua, dengan adanya khilafah, berarti adanya jaminan keamanan baik di dalam maupun luar negeri. Ketiga, sistem khilafah juga harus mampu menerapkan syariat Islam secara kaffah dan menyatukan seluruh kaum Muslim. Keempat, khalifah atau pemimpin dari sistem khilafah harus dipilih berdasarkan syariat.
Metode pendiriannya yaitu melalui dakwah pemikiran, bukan kekerasan. Bertumpu pada dukungan umat dan ahlu quwah yang memberikan nusroh kepada dakwah. Akidah Islam mengharuskan Negara Khilafah untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dakwah Islam oleh Khilafah menjadi asas negara dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain; dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Perkara inilah yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sejak membangun Negara Islam di Madinah. Politik luar negeri negara Khilafah tegak berdasarkan pemikiran (fikrah) yang tetap dan tidak berubah, yakni menyebarkan Islam ke seluruh dunia; dilaksanakan dengan metode (tharîqah) yang tetap dan tidak berubah, yakni jihad (lihat, ad-Dawlah al-Islâmiyyah, bab as- Siyâsah al-Khârijiyyah, hal. 147-152, min mansyurat Hizbut Tahrir, cet. vii (muktamadah). 2002). Metode ini dijalankan sejak Rasulullah saw. mendirikan Negara Islam di Madinah sampai keruntuhan Khilafah Islam Turki Utsmani tahun 1924.
Pada kasus Taliban, maka penting untuk kita untuk merujuk kembali pada sirah Nabawiyah. Rasulullah setelah hijrah dari mekkah ke Madinah, maka beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Meletakan landasan kuat bagi negara yang baru lahir. Membuat konstitusi berdasarkan Al Quran dan As Sunnah yang mulia. Rasulullah memastikan negara yang aman dari ancaman bangsa- bangsa dan suku- suku disekitarnya. Kemudian, Rasulullah memulai penaklukan Islam, sampai luas negara perbatasan dengan Roma dan Persia.
Maka seharusnya yang dilakukan Taliban adalah merangkul semua faksi Islam yang hanif, suku etnis yang ada di sana untuk kembali pada Islam, membuka diri untuk seluruh kaum Muslim bersatu, karena posisi Taliban adalah pemilik kekuasaan, mirip posisi suku Aus dan Khazraj di Madinah pada zaman Nabi Muhammad SAW. Ibarat bermain bola, sekarang bola ada di tangan mereka.
Seperti yang direkomendasikan Cendikiawan Muslim Ustadz Guru Wahyudi Ibnu Yusuf dalam media umat untuk Taliban adalah: Pertama, Taliban meminta umat untuk membaiat seorang khalifah dengan ridha dan tidak ada paksaan dan dimulai dari Afghanistan. Kedua, memberikan kekuasaan atau mengadopsi konsep khilafah beserta pilar dan strukturnya dari kelompok yang memiliki konsep yang jelas tentang khilafah. Sebagaimana dulu Hizbut Tahrir telah menawarkan konsep dan gagasan itu kepada Taliban. Ketiga, mengumumkan tegaknya khilafah setelah mendapatkan baiat dari umat. Keempat, mengajak negara-negara terdekat untuk segera bergabung dan memberikan dukungan kepada negara khilafah yang baru dideklarasikan.
Sebab keberadaan negara sekeliling itu sangat penting apabila ada kekuatan yang hendak menyerang negara khilafah. Kelima, menyiapkan rakyat Afghanistan untuk berjihad menghadapi negara-negara kafir penjajah yang menghalangi dan ingin membunuh khilafah yang baru lahir. Keenam, hendaknya negara khilafah yang baru tegak ini menerapkan syariat Islam secara totalitas. Kemudian mengoreksi beberapa kesalahan penerapan syariat yang pernah dilakukan Taliban, seperti tidak memberikan hak pendidikan kepada perempuan.
Penutup.
Apa yang saat ini Taliban pilih yaitu Imarah Islam Afganistan dengan skup regionalnya bahkan terjebak membatasi wilayah dan gerak perjuangannya, masih jauh dari apa yang ditetapkan syariat. Meski secara militer menang namun secara politik, seharusnya Taliban putus hubungan dengan penjajah, tidak terjebak dengan diplomasi murahan, karena itu adalah bentuk penjajahan gaya baru (soft power). Tidak terjebak pada nation state dalam bentuk lain, dan racun ikatan kebangsaan serta turunan lainnya yang disodorkan penjajah.
Setidaknya yang bisa kita ambil,bahwa kemenangan saudara kita di Taliban merupakan penguat kita bahwa kemenangan itu dekat, sekuat apapun itu lawannya, melalui perjuangan yang tanpa lelah dan putus asa, hanya saja kita tidak boleh larut dalam euforia.Karena jelas, masih banyak jebakan dan penghalang dari musuh-musuh Islam. Wallahualam bishowab