TUNJANGAN ANGGOTA DPR FANTASTIS DI SAAT RAKYAT TERCEKIK
Sabtu, 06 September 2025
Edit

Penulis: Tyas Ummu Amira
Miris, angka kemiskinan di Kabupaten Malang relatif tinggi. Dikutip dari radarmalang.com (3/5/2025), Kepanjen, jumlah warga miskin ekstrem di Bumi Kanjuruhan masih tinggi. Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Malang mencatat, tahun ini ada 18.000 jiwa warga masuk kategori miskin ekstrem.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan gaji anggota DPR yang sangat fantastis. Dilansir dari kompas.com (28/8/2025), menurut pakar hukum tata negara sekaligus mantan anggota DPR 2004–2008, Mahfud MD mendengar gaji anggota DPR sebenarnya tembus miliaran rupiah per bulan, bukan Rp230 juta.
Selain itu, berbagai tunjangan dan fasilitas untuk anggota DPR pun menjadi sorotan publik. ICW menghitung pemborosan anggaran karena tunjangan rumah ini mencapai Rp1,74 triliun dengan asumsi Rp50 juta dikalikan 60 bulan dan 580 anggota DPR yang menjabat.
Realitas tersebut menggambarkan bahwa para pejabat negara sungguh tak punya hati. Pada saat yang sama rakyat memeras keringat dan memutar otak agar nyawa tetap bisa bertahan hidup di tengah gempuran tingginya beban hidup, mulai dari naiknya harga kebutuhan pokok, akses kesehatan dan pendidikan yang mahal, serta hampir semua dikenai pajak. Tak ayal, rakyat bawah kian sengsara menanggung beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk menyejahterakan seluruh warganya.
Kesejahteraan tak akan pernah terwujud secara merata meskipun pada saat kampanye mereka menggaungkan ide-ide cemerlang serta janji manis. Sebab, kini kita terkungkung dalam sistem yang rusak dan batil, tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sistem inilah yang menjadi biang kerok dari segala problematika umat saat ini, yakni sistem demokrasi kapitalis.
Sistem demokrasi kapitalis berasaskan jalan tengah dengan orientasi meraup keuntungan, baik berupa kepuasan jasmani maupun materi. Wajar jika dalam sistem ini terjadi kesenjangan sosial yang amat jauh. Segelintir elite menguasai kekayaan alam melimpah ruah, sedangkan rakyat bawah susah payah mengais beras dan upah.
Begitulah potret buram sistem kapitalis. Dasarnya adalah pemisahan agama dari ranah kehidupan sehingga standar perbuatan manusia tidak lagi dinilai dari aturan agama, melainkan dari aturan buatan manusia. Tak heran jika mereka menuruti hawa nafsu demi mendapatkan segalanya dengan berbagai cara, yang penting menghasilkan cuan. Seperti yang kita lihat saat ini, praktik korupsi sudah menjadi hal yang dinormalisasi dan bukan lagi dianggap sebagai aib atau kesalahan besar. Bahkan, sudah menjadi opini umum bahwa hukum bisa dibeli dengan kekuatan dan kekuasaan.
Angka pejabat korupsi semakin menggila, baik dari sisi pelaku maupun jumlah uang yang diambil. Tak tanggung-tanggung, tercatat sejumlah kasus dugaan korupsi yang mencuri perhatian publik pada awal tahun ini hingga Maret 2025. Kerugian negara akibat kasus-kasus korupsi ditaksir mencapai triliunan rupiah.
Perkara rasuah terjadi di berbagai sektor, mulai dari perbankan, lembaga pembiayaan negara, hingga minyak dan gas. Perkara rasuah ini dinilai merugikan keuangan negara setidaknya Rp193,7 triliun selama satu tahun. Sedangkan waktu terjadinya perkara tersebut adalah lima tahun, dari 2018–2023 (tempo.com, 12/3/2025).
Dari sini kita pahami bersama bahwa budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme kian menjamur di negeri ini. Semua itu akibat penerapan sistem demokrasi kapitalis yang menjadikan aturan berdasarkan kepentingan dan hawa nafsu. Jabatan yang seharusnya digunakan untuk melayani serta mewakili suara rakyat malah dijadikan sarana memperkaya diri dengan gaya hidup hedonis.
Para pejabat yang tak punya empati terhadap rakyat seolah menari di atas penderitaan rakyatnya. Hasil pajak digunakan untuk memenuhi fasilitas mewah kaum pejabat. Kasus seperti ini akan terus berlanjut dan meningkat dari tahun ke tahun jika tidak ada perubahan fundamental, yakni dari aspek sistemnya.
Berbeda dengan kepemimpinan dalam Islam atau yang dikenal dengan Khilafah. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah (pemimpin) yang dipilih atau diangkat sebagai penerus Nabi Muhammad saw. dalam memimpin umat Islam. Khilafah memiliki peran utama sebagai pengurus rakyat (raa‘in) yang bertanggung jawab terhadap rakyat.
Rasulullah saw. bersabda:
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).
Gambaran pemimpin dalam Islam ialah sosok yang memiliki dedikasi tinggi dalam menjalankan amanah. Seorang pemimpin atau pemangku kebijakan akan selalu menjadikan akidah Islam sebagai landasan dalam memutuskan berbagai kebijakan. Tak heran, praktik-praktik seperti korupsi tidak akan dilakukan karena diyakini melanggar syariat.
Dalam Islam, tindakan suap atau korupsi dalam bentuk apa pun, sedikit maupun banyak, tetap hukumnya haram. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam kitab Al-Amwāl fī Daulat al-Khilāfah menjelaskan bahwa suap adalah setiap harta yang diberikan kepada penguasa (wali), amil, qadi (hakim), atau pegawai negara dengan maksud memperoleh maslahat berupa keputusan mengenai suatu kepentingan yang seharusnya diputuskan tanpa pembayaran.
Selain itu, dalam pemerintahan Islam terdapat Majelis Umat atau Majelis Syura, yaitu dewan yang terdiri dari orang-orang yang dipilih umat. Tugasnya meminta pertanggungjawaban dan mengoreksi penguasa dalam menerapkan Islam, serta memberikan arahan atau masukan bagi penguasa mengenai hal-hal yang dianggap baik bagi kaum muslim.
Beberapa wewenang utama Majelis Syura antara lain:
- Memberikan pendapat (usulan) kepada khalifah dalam urusan dalam negeri, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, termasuk usulan mendirikan sekolah, membuat jalan, atau mendirikan rumah sakit.
- Mengoreksi khalifah dan para penguasa atas berbagai hal yang dianggap keliru.
- Menyampaikan ketidaksukaan terhadap para wali atau mu‘awin. Khalifah harus memberhentikan mereka yang diadukan.
Memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dan membatasi kandidat khalifah.
Dalil terkait syura antara lain firman Allah Swt.:
وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imran: 159).
Demikianlah paradigma kepemimpinan dalam Islam. Semua kekuasaan dan jabatan ialah amanah yang kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban. Alhasil, para pemimpin akan mengemban dengan penuh kejujuran serta berdasarkan keimanan yang sahih.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.