SYAKHSIYAH (KEPRIBADIAN)

SYAKHSIYAH (KEPRIBADIAN)


Oleh: Yuliati Sugiono

Manusia beraktifitas untuk memenuhi gharizah dan hajatul udhuwiyah, dan sekumpulan amal ini disebut perilaku manusia (suluk) dan suluk ini terkait erat dengan mafhum yang dimilikinya. Dan tingkah laku itu yang menunjukkan kepribadian manusia, jadi tidak ada hubungannya dengan kerapian, keanggunan, bentuk fisik atau warna kulit.

Maka syaksiyah itu adalah cara berpikir manusia tentang fakta dan kecenderungan terhadap fakta. Dengan makna lain adalah aqliyah dan nafsiyah. Apa yang Rasulullah bawa, ambillah, apa yang dilarang, tinggalkan. Manusia kemudian menghubungkan antara fakta dan maklumat tsabiqoh. Baru bisa menghukumi fakta tersebut.

Ketika mengindra babi misalnya maka akan keluar semua maklumat tsabiqoh tentang babi, babi enak, babi gurih, babi haram dsb. Kemudian dia akan mengambil kaidah fikriyah sebagai standar dalam maklumat tsabiqoh mana yang akan dipakai. Baru menghukumi babi tersebut.

Contoh lain adalah minyak bumi atau emas hitam. Maka manusia mengindranya, dan muncul hubul tamaluk ingin memiliki, akan tetapi dia menambahkan kaidah fikriyah sebagai miqyas atau standar. Maka bila kaidah Islam yang diambil maka minyak bumi ini masuk ke kepemilikan umum.

Sementara kapitalis memandang minyak bumi bisa menjadi kepemilikan individu tanpa memperhatikan orang lain. Maka sikapnya akan berbeda.

Wanita cantik bisa membangkitkan gharizah nau' laki-laki, tetapi yang diambil oleh laki-laki dalam menghadapi wanita cantik tadi, ada kaidah, bila kaidah fikriyah Islam yang diambil maka pemuasannya hanya pada istri saja. Sementara kapitalis memandang wanita cantik itu sebagai barang komoditi yang bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin bukan sebagai kehormatan yang wajib dijaga.

Maka perbedaan penginderaan terhadap minyak bumi dan wanita cantik, bergantung pada perbedaan standar kaidah fikriyah yang diambil, apakah Islam atau kapitalis. Manusia berpikir berdasarkan kaidah fikriyahnya.

Maka kaidah fikriyah Islam yang memancar darinya hukum-hukum. Aqliyah adalah cara mengaitkan fakta dengan maklumat tsabiqoh. Bila aqliyah Islam dia mengaitkan dengan hukum Islam. Bila kapitalis maka dia mengaitkan dengan hukum-hukum kapitalis, berdasarkan asas manfaat.

Aqliyah Islamiyah memikirkan sesuatu berdasarkan aqidah Islam. Seorang muslim mengindera fakta kemudian menghubungkan dengan maklumat tsabiqoh dikaitkan dengan kaidah fikriyah, hukum syara.

Siapa saja yang menjalani metode ini maka dia memiliki aqliyah Islamiyah. Maka jihad itu wajib, zina itu haram, tabaruj haram dsb. Hukum syara adalah hukum yang diistinbat dari dalil syara.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (QS Al Isra : 32).

Para sahabat Rasulullah menggunakan aqliyah Islamiyah dalam menghukumi fakta. Pada perjanjian Hudaibiyah, ketika perkara itu sudah diputuskan oleh Rasulullah tidak tersisa kecuali ketaatan. Meskipun diawal waktu belum memahami isi perjanjian Hudaibiyah yang sepintas terlihat merugikan kaum muslimin.

Abu Bakar memahami bahwa Rasulullah dibimbing wahyu. Dan beliau tidak pernah melanggar perintah Allah. Sementara Umar bin Khattab belum memahami aqliyah Islamiyah. Hanya penginderaan saja bahwa isi perjanjian Hudaibiyah itu merugikan kaum muslimin. Sehingga beliau kemudian diingatkan oleh Abu Bakar.

Orang yang memikirkan fakta berdasarkan cara pandang Islam, maka aqliyahnya aqliyah Islamiyah. Orang yang berpikir dengan cara kapitalis maka aqliyahnya kapitalis. Bila tidak teridentifikasi maka aqliyahnya ghairu mutamayiz. Coraknya tidak khas. Atau mungkin campur-campur.

Adapun nafsiyah cara mengaitkan gharizah dan hajatul udhuwiyah dengan kaidah fikriyah.

Manusia itu bergerak ke arah pemuasan/isbak. Dorongan itu harus diikat dengan mafhum atau mafahim, menghasilkan muyul (kecenderungan).

Dorongan ada pada hewan dan manusia, tapi muyul itu hanya ada pada manusia, karena muyul itu gabungan antara dorongan dan mafhum.

Yang disebut nafsiyah adalah cara mengikat antara fakta dan dorongan, dikaitkan dengan mafahim. Jika mengikatnya dengan Islam maka disebut nafsiyah Islamiyah. Bila mafahim lahir dari kapitalis maka nafsiyah kapitalis. Bila bercampur maka kacau.

Maka nafsiyah ini yang mengendalikan gharizah dan hajatul udhuwiyah. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab suka minum khamr. Ketika sudah memeluk Islam, maka mereka tidak minum khamr. Maka mafahim Islam telah merubah kecenderungan orang Arab itu secara mendasar.

Jadi kepribadian dibentuk oleh pola pikir dan pola sikap. Jika standarnya Islam maka dia memiliki aqliyah Islamiyah dan nafsiyah Islamiyah. Jika standarnya kapitalis maka dia memiliki nafsiyah kapitalis. Jika belum konsisten berdasarkan Islam atau kapitalis maka campuran tidak khas, syaksiyahnya kacau.

Dengan mempelajari faktor pembentuk syaksiyah ini agar kita memahami perilaku manusia apakah Islam atau yang lain.

Kemudian pastikan kita memiliki aqliyah Islamiyah dan nafsiyah Islamiyah, mempunyai corak yang khas. Standar perbuatan kita adalah hukum syara bukan figur seseorang. Apalagi sekarang banyak sekali agenda-agenda penyesatan yang berusaha memalingkan umat Islam dari kaidah fikriyah Islam.

Bagaimana cara meningkatkan syaksiyah dalam arti meningkatkan aqliyah Islamiyah dan nafsiyah Islamiyah? Dengan cara meningkatkan mafahim dan selalu mengkaitkan dengan mafahim. Selalu hadir di majelis ilmu. Meningkatkan nafsiyah adalah dengan taqarub kepada Allah, dengan tilawah Al-Qur'an, salat tahajud, tarawih, sedekah, puasa terlebih sekarang di bulan Ramadan.

Sehingga syaksiyah kita khas mengandung sibghatullah, celupan Allah.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel