
IDDAH BAGI WANITA YANG DITINGGAL MATI SUAMI
Rabu, 18 Agustus 2021
Edit

"Bu, apakah saya bulan Ramadhan boleh salat Tarawih di masjid?" tanya seorang ibu yang beberapa waktu menjelang datangnya bulan Ramadhan suaminya berpulang ke haribaan Sang Penguasa. Tentu saat itu beliau masih dalam masa Iddah.
"Panjenengan bisa salat Tarawih di rumah, Bu," jawabku.
"Ah, gak enak, Bu, jika salat Tarawih sendiri di rumah. Bukankah salat Tarawih itu, ibadah, ya, Bu? Masa, sih saya tidak boleh ke masjid?" Wajah beliau menunjukkan ketidakpuasan.
"Benar. Salat Tarawih memang ibadah, tapi jenengan masih dalam masa Iddah, maka sebaiknya tidak keluar rumah meski untuk salat Tarawih di masjid." Ibu tersebut terdiam.
Percakapan selesai sampai di sini. Aku kira beliau akan sabar, dan tidak salat Tarawih di masjid sebab belum usai masa Iddahnya. Akan tetapi aku salah. Ternyata beliau tetap salat Tarawih di masjid saat Ramadhan tiba. Lalu untuk apa beliau bertanya sebelum Ramadhan datang? Jika kemudian ia tak menghiraukan jawaban atas pertanyaannya?
Aku pikir, dengan beliau bertanya, itu akan melakukan Iddah dengan sabar. Bagaimanapun beliau tidak akan bertanya kepada sembarang orang. Aku yakin beliau bertanya kepadaku karena mengenalku sebagai orang yang paham agama. Setidaknya orang di perumahan mengenalku sebagai guru TPQ, dan sering memberi tausiyah di jamaah tahlil.
Meski secara jujur, tidak jarang aku tausiyah yang kusampaikan cuma pesan pendek saja. Mengingat jamaah tahlil tidak suka jika ada ceramah panjang. Lagi pula yang menyampaikan juga tidak pinter-pinter amat. Cuma Bonek, bondo nekat.
Mungkin aku juga salah, karena menjawab tanpa dikuatkan dalil. Tidak ada ayat Al Qur'an atau hadits Rasulullah Saw yang aku kutip saat itu. Harusnya aku menyampaikan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اعوذ بالله من الشيطان الرحيم
بسم الله الرحمن الرحيم
وَا لَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَا جًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَ نْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًا ۚ فَاِ ذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْۤ اَنْفُسِهِنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ ۗ وَا للّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
"Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 234)
Mungkin jika aku saat itu membukakan Al Qur'an, beliau akan lebih yakin jika yang kusampaikan benar-benar hukum syariat Islam, yang harus diperhatikan dan dijalankan oleh setiap hamba yang beriman. Namun apa mau dikata, itu sudah terjadi beberapa tahun lalu.
Saat itu aku sama sekali tidak siap dengan pertanyaan tersebut. Maka aku hanya menjawab sesuai apa yang aku tahu. Baru beberapa waktu terakhir ini, berkah bergabung dalam grup SSCQ (Sahabat Surga Cinta Al Qur'an) aku menemukan ayat ini. Ya, dalam grup ini setiap orang diminta komitmen membaca sehari satu juz Al-Qur'an plus terjemahnya.
Selain itu memilih salah satu ayat yang paling berkesan, dalam juz hari itu, kemudian menuliskan kesan yang didapat. Tulisan itu menjadi laporan pada hari tersebut. Boleh tulisan panjang minimal 500 kata, yang di-posting di wall Facebook. Atau tulisan pendek, boleh hanya dikirim ke grup saja. Di-posting di wall Facebook juga boleh banget. Karena itu aku kemudian menemukan ayat ini dengan tepat. Sebab hari ini aku sampail pada juz 2. Aku jadi teringat pertanyaan seorang ibu tetangga lama itu.
Mungkin pula seharusnya aku mendahului dengan menguatkan akidahnya lebih dulu, bahwa taat kepada Allah itu harus di atas segalanya. Bukan mengikuti kesenangan sendiri. Akan tetapi benar-benar ikhlas menjalankan ibadah karena berharap pahala dan ridho-Nya. Termasuk meninggalkan semua larangan-Nya. Salah satunya meninggalkan larangan keluar rumah saat Iddah.
Ah, iya. Aku baru ingat, saat itu ayahnya juga berpulang beberapa hari setelah sang suami. Hal itu menjadikan beliau merasa harus datang ke rumah orang tuanya, untuk membantu sang ibu. Kita tahulah, jika sesudah ada anggota keluarga yang berpulang, ahli waris akan sibuk berkirim doa, yang pasti mengundang banyak orang dan pasti ada hidangan yang disajikan. Maka beliau pun melupakan masa Iddahnya.
Sebagai makhluk sosial, beliau merasa tidak enak jika hanya di rumah saja, tidak membantu. Beliau kawatir digunjingkan oleh para tetangga dan saudara. Mengapa ada kekhawatiran demikian? Ya, karena tidak semua orang paham tentang masa Iddah, walau hampir semua tetangga beragama Islam.
Hal ini berawal dari sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Agama dianggap cukup diranah individu saja. Agama tidak boleh turut mengatur kehidupan sosial. Padahal dalam Islam tidak ada hal yang luput dari perhatian dan aturannya. Coba saja kalau Islam diterapkan dalam setiap sisi kehidupan, orang tidak perlu tanya apakah seorang wanita boleh keluar rumah atau tidak sepeninggal suaminya. Berapa lama larangan itu. Karena semua orang sudah tahu, hapal dan paham dengan sendirinya.
Kalau semua orang paham, tidak ada kekhawatiran dipergunjingkan orang lain. Malah yang ada, sesama muslim akan saling mengingatkan dengan ikhlas dari lubuk hati, didasari cinta karena Allah semata.
Wallahu a'lam bish shawab
Mojokerto, 20 Juli 2021