KERUNTUHAN KHILAFAH DAN RESPON ULAMA DI HINDIA BELANDA

KERUNTUHAN KHILAFAH DAN RESPON ULAMA DI HINDIA BELANDA


“Saudara-saudara sekalian. Dua tahun pergerakan Khilafah Hindia Timur berdiri di Surabaya, tidak sedikit mendapat perhatian dari sebagian besar kaum Muslimin di negeri kita, yang mana terbukti bahwa dimana-mana tempat sama bergiat mendirikan Sub-Komite (Khilafah) dan beberapa perhimpunan dan perserikatan yang sama menunjukan simpatinya terhadap kepada sikap kita Komite Khilafah tersebut.” (Pidato Tuan Wondosoedirdjo [Ketua Komite Khilafah Hindia Timur] pada pembukaan Kongres Al-Islam Hindia ke-6 di Surabaya tahun 1926).

“Perkembangan ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam yang mulai berfikir tentang pembentukan sebuah Khilafah yang baru. Saat itu umat Islam di Indonesia tidak hanya berminat pada masalah ini bahkan merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya.” (Prof. Deliar Noer dalam “The modernist Muslim movement in Indonesia 1900–1942”).

Pendahuluan

Perubahan situasi politik di Turki selama awal abad ke-20 menjadi sorotan besar bagi dunia Islam termasuk mereka yang berada di Hindia Belanda (Indonesia). Peristiwa penghapusan sistem Khilafah oleh Majelis Nasional Turki pada 3 Maret 1924 mengakibatkan munculnya respon gerakan sosial dari sebagian besar kelompok Umat Islam di Hindia Belanda. Setelah Khilafah dibubarkan, mereka menyambut kedatangan seruan penegakan Khilafah yang pada saat itu menjadi isu utama dunia Islam. Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad adalah diantara organisasi pergerakan Islam yang banyak mengikuti perkembangan situasi tersebut. Selain ketiganya, adapula ulama-ulama Jawa, yang pada perkembangannya menyatu menjadi Nahdhatul Ulama.

Makalah sederhana yang menjadi bahan Kajian Intensif KLI Sesi 3 ini ingin menjelaskan dalam konteks sejarah bahwa sebagai bentuk partisipasi sambutan penegakan Khilafah, mereka membentuk sebuah organisasi bernama Komite Khilafah pada Oktober 1924. Pembentukan organisasi yang dicetus oleh H. Fakhruddin (Ketua Muhamaddiyah) ini dimaksudkan untuk meyakinkan umat Islam di Hindia Belanda tentang urgensi persoalan Khilafah dalam ajaran agama Islam dan dampaknya bagi kehidupan mereka. Berbagai usaha dilakukan untuk merealisasikan tujuan tersebut. Namun keberadaan komite ini tidak berlangsung lama. Pada 1926, organisasi pengusung ‘ideologi Khilafah -radikal’ pertama di Indonesia ini dilebur dengan Komite Dunia Islam yang berpusat di Mekkah dan berubah nama menjadi Mu’tamar al-‘Alam al-Islami far’ al-Hindiyya al-Sharqiyyah (MAIHS). Betapapun persoalan Khilafah pernaha menjadi sorotan penting di Hindia Belanda, hanya saja, kondisi tersebut tidak berlangsung lama hingga tiba-tiba menghilang lalu tergantikan persoalan lain.

Dalam proses penyusunan makalah ini, artikel jurnal dari Martin van Bruinessen yang berjudul Muslim of the Dutch East Indies and The Caliphate Question dan buku yang diadaptasi dari disertasi Deliar Noer The modernist Muslim movement in Indonesia 1900–1942 menjadi dua referensi penting. Meski begitu, kekuatan makalah ini ada di perujukan pada sejumlah surat kabar yang terbit selama kurun waktu 1924-1927 di Hindia Belanda. Bandera Islam, Hindia Baroe, Neratja, dan Soeara Perdamaian merupakan surat kabar berbahasa melayu yang banyak memberikan gambaran tentang persepsi kalangan ulama dan kaum pergerakan Islam terhadap persoalan Khilafah. Selain itu, surat kabar berbahasa Belanda pun menjadi referensi untuk mendapat informasi detail tentang kondisi saat itu. Beberapa nama diantaranya adalah Bataviaasch Nieuwsblad, De Indische Courant, dan Het Nieuws.

Keruntuhan Turki Usmani dan Respon Dunia Islam


Turki Usmani menjadi pihak yang kalah dalam Perang Dunia I dengan keadaan yang lemah, miskin, dan ekonomi nyaris bangkrut. Pada kondisi seperti itu Turki diserbu oleh Yunani, sehingga lengkap sudah penderitaan negara yang sempat ditakuti dunia Barat pada masa sebelumnya ini. Dalam situasi pemerintahan yang lemah dan kacau ini, muncul Mustafa Kemal Pasha di panggung politik Turki dan mengubah struktur pemerintahan di Turki dari sistem khilafahi menjadi negara Republik Turki. Pada 3 Maret 1924 keputusan ini disahkan oleh Majelis Nasional Turki. Dengan demikian, sistem pemerintahan yang selama ratusan tahun telah dijalankan Turki ini secara resmi dihapus kemudian penguasa Usmani saat itu, khalifah Abdul Majid, dideportasi dari Turki.

Berita tentang penghapusan ini segera menyebar dan mengejutkan dunia Islam. Kondisi ini tidak terlepas dari paham Pan-Islamisme yang saat itu mempengaruhi banyak umat Islam di berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Menurut Aqib Suminto, ada kaitan yang erat antara paham Pan-Islamisme dan jabatan khalifah. Paham Pan-Islamisme memiliki tujuan menyatukan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang di kepalai oleh seorang khalifah. Oleh karena itu saat jabatan khalifah diruntuhkan, ada banyak umat Islam yang merespon dan meperjuangkannya agar tegak kembali.

Persoalan penghapusan ini bukan persoalan orang Turki semata tetapi telah menjadi persoalan umat Islam yang lain karena selama ini lembaga khilafah telah berdiri bersama umat Islam lebih dari seribu tahun. Tentang hubungan antara umat Islam dengan khilafah dan penyebab persoalan penghapusan ini menjadi perbincangan, Muhammad Dhia’uddin ar-Rais, seorang Guru Besar Jurusan Sejarah Islam Universitas Kairo menuturkan, sesungguhnya Khilafah ini bukan milik Turki saja melainkan milik dunia Islam seluruhnya. Ia adalah sebagian dari warisan umat Islam, peninggalan sejarah dan lambang persatuan mereka. Khilafah merupakan pimpinan spritual bangsa-bangsa Islam di segenap penjuru bumi. Khilafah ini telah berlangsung lebih dari seribu tiga ratus tahun. Yaitu sejak umat Islam mengadakan rapat untuk memilih Abu Bakar Shiddiq (Sahabat Nabi) sebagai pengganti Rasulullah Muhammad saw. Beliau itulah sebagai khalifah pertama dalam sejarah Islam, diikuti oleh Khalifah kedua al-Farq Umar bin Khaththab, begitulah seterusnya silih berganti sepanjang masa, dalam berbagai dinasti sehingga berakhir pada abad kedua puluh ini. Oleh karena itu, wajar jika umat Islam memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal Khilafah ini dan memikirkan akibatnya, serta berpikir apa yang akan terjadi kelak di masa mendatang.

Disebabkan begitu pentingnya keberadaan lembaga khilafah ini maka berita penghapusan jabatan khalifah ini mendatangkan respon dari dunia Islam yang berupaya untuk menegakkan khilafah kembali. Ide untuk mencari pengganti jabatan khalifah terus bergulir dan terus diperbincangkan. Kemudian di beberapa tempat diadakan pertemuan untuk menuntaskan persoalan ini.

Pada Maret 1924 di bawah pimpinan Syaikh al-Azhar para ulama saat itu menyelenggarakan pertemuan di Kairo dan menghasilkan kesepakatan bahwa keberadaan khilafah yang memimpin umat Islam tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah keharusan. Mereka berpendapat jabatan khalifah Abdul Majid sudah tidak sah lagi setelah dia dilengserkan oleh Mustafa Kemal Pasha. Untuk membahas siapa yang layak memegang jabatan khalifah selanjutnya, mereka memutuskan akan mengadakan kongres di Kairo pada bulan Maret 1925 dengan mengundang wakil-wakil umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Hal serupa juga dilakukan oleh umat Islam di Mekkah. Pada April 1924 di Mekkah Syarif Husein yang menjadi Amir Mekkah membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari sembilan sayid dan sembilan belas perwakilan dari daerah lain termasuk dua orang perwakilan dari Jawa. Dewan Khilafah ini dibentuk sebagai upaya untuk menegakkan kembali jabatan khalifah. Namun Dewan Khilafah tidak berumur panjang karena pada tahun yang sama Syarif Husein lengser dari jabatannya.

Berita Keruntuhan Khilafah di Hindia Belanda


Berita tentang penghapusan sistem Khilafah ini, tidak hanya memanaskan situasi Mekkah dan Mesir saja, tetapi juga di negeri Islam yang lain. Di Hindia Belanda (Indonesia) contohnya, perkembangan politik di Istambul telah menjadi perhatian berbagai surat kabar, terutama yang berbahasa Belanda. Surat kabar Belanda ini memiliki teknologi yang cukup baik serta korespondensi internasional sehingga bisa up to date memberitakan peristiwa di luar Hindia Belanda, termasuk kabar keruntuhan Turki Umani. Meskipun terbit dalam bahasa Belanda, surat kabar ini tetap mudah diterima berbagai kalangan masyarakat karena bahasa tersebut menjadi bahasa formal saat itu. Sebutlah nama seperti Tjokroaminoto dan H. Agus Salim, yang merupakan tokoh pergerakan Islam, sangat cakap berbahasa Belanda.

Pada tanggal 4 Maret 1924, atau satu hari setelah keruntuhan Usmani, kabar penghapusan ini telah sampai di Indonesia. Adalah surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (selanjutnya ditulis Het Nieuws) yang pertama kali memberitakannya. Dalam terbitannya pada tanggal tersebut, surat kabar yang terbit di Batavia (Jakarta) ini menurunkan berita dengan judul “De afschaffing van het Khalifaat” (Penghapusan Khilafah). Pemberitaannya menggambarkan tentang putusan Majelis Nasional Turki menghapus sistem Khilafah.

De Turksche Nationale Vergadering bespreekt de afschaffing en de deportatie van den Khalief, terwijl alle leden van de Sultans-famillie voor eeuwig van het recht om in Turkije te verblijven beroofd zouden worden.
(Majelis Nasional Turki membahas penghapusan dan deportasi dari Khalifah, sementara itu hak semua anggota keluarga Sultan (Abdul Madjid II, pen.) untuk tinggal di Turki akan dicabut selamanya.)

Surat kabar Het Nieuws ini termasuk yang paling terdepan dan intens dalam mengabarkan berita penghapusan. Satu hari sebelumnya, atau tanggal 3 Maret 1924, Het Nieuws telah mengabarkan tentang rencana penghapusan sistem Khilafah yang didorong Partai Rakyat Republik milik Mustafa Kemal Pasha.

De Turkesche volkspartij verklaarde zich met overweldigende meerderheid voor het wets ontwerp inzake de afzetting van den khalief en afschaffing van het Kalifaat.
(Partai Turki (Partai Rakyat Republik, pen.) menyatakan dirinya sangat mendukung RUU tentang pemberhentian khalifah dan menghapuskan kekhalifahan)

Adapun informasi detail tentang berita penghapusan Khilafah dan upaya sekulerisasi di Turki oleh Mustafa Kemal dimuat oleh Het Nieuws dalam terbitannya tanggal 5 Maret 1924 masih dengan judul yang sama “De afschaffing van het Khalifaat”.

Sementara itu surat kabar lain, yang juga terbit di Batavia, Bataviaasch Nieuwsblad juga ikut memberitakan peristiwa penghapusan ini. Dalam terbitannya pada tanggal 5 Maret 1924, surat kabat ini menurunkan berita tentang Belangrijke Besluiten (Resolusi Penting) dari Turksche Rijk (Negeri Turki) yang isinya soal keputusan Dewan Nasional di Ankara menghapus sistem Khilafah di Turki.

De nationale raad te Angora nam een resolutie aan tot afschaffing van het Khalifaat, tot verbanning van het sultanshuis Osman en ontneming van de Turksche nationaliteit aan de leden van dit geslacht, voorts tot scheiding van Kerk en Staat en tot hervorming van het onderwijs en de administratie.
Dewan Nasional di Ankara mengeluarkan resolusi menghapuskan kekhalifahan, pengasingan Sultan Usmani (Khalifah Abdul Majid II, pen.) dan pencabutan hak kewarganegaraan Turki, selain juga pemisahan gereja (urusan agama, pen.) dari Negara serta mereformasi sistem pendidikan dan administrasi.

Di kota lain, Surabaya, pemberitaan ini juga telah meluas. Ada surat kabar De Indische Courant yang pada terbitan tanggal 7 Maret 1924 menurunkan berita tentang De Kalifaat-Kwestie (Persoalan Khilafah). Isinya membahas tentang hasil pertemuan Dewan Nasional Turki yang menyetujui penghapusan Khilafah, sekulerisasi Turki dan pengasingan Khalifah Abdul Majid II ke Swiss.

Daarop keurde de vergadering zonder verder debat de wetsontwerpen goed zoor afschaffing van de commissariaten en godsdienstige instellingen, waarna het wetsontwerp tot afschaffing van het kalifaat in zijn geheel werd aangenomen. De kalief vertrok naar Zwitserland.
(Kemudian pertemuan menyetujui tanpa perdebatan lebih lanjut tentang penghapusan lembaga-lembaga pengawasan dan agama, mensahkan RUU penghapusan Kekhalifahan secara keseluruhan. Kemudian Khalifah pindah ke Swiss.)

Meskipun menyusul beberapa pekan kemudian, surat kabar berbahasa Melayu juga ikut membahas soal penghapusan ini. Dalam surat kabar Neratja, yang dikelola K.H. Agus Salim, dimuat serial tulisan yang berjudul Kemanakah Chalifah Islam? Kekaloetan ‘Alam Islam. Tulisan yang diterbitkan selama 26-31 Maret 1924 ini memeberitakan soal penghapusan Kekhilafahan Islam dan situasi Turki terbaru. Digambarkan pula tentang situasi kalut dunia Islam atas peristiwa tersebut.

Surat kabar Melayu lain, datang dari kalangan komunis, membahas soal penghapusan ini dengan nada yang sinis. Tidak mengherankan kelompok ini kurang peduli kepada persoalan Kekhilafahan Islam. Sebuah artikel pada surat kabar Medan Moeslimin, yang dikelola Haji Misbah, pada 15 April 1924 mengatakan kepada pembacanya untuk tidak telibat dalam hal apapun yang bersangkutan dengan Turki. Khalifah, dengan Persatuan Islamnya, hanya menyebabkan kerugian besar bagi umat Islam. Kendati kolaborasi Khalifah dengan Jerman baik sekali, jihadnya telah gagal total (dalam Perang Dunia II, pen.). Adalah ilusi mengharapkan Khalifah membawa persatuan umat Islam, membawa kebahagian dan kebebasan, karena hanya komunis yang akan mampu mewujudkannya.

Respon Keruntuhan Khilafah


Dinamika politik yang ada di Turki menjadi perhatian serius muslim di Hindia Belanda sejak berakhirnya Perang Dunia I. Situasi yang terjadi di sana bahkan menjadi tema pembahasan pada Kongres Al-Islam. Kongres Al-Islam pertama diadakan di Cirebon pada tahun 1922 atas inisiasi dari tiga organisas besar pada saat itu. Mereka adalah Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Turut hadir pula golongan tradisional yang dipimpin oleh K.H. Abdul Wahab berasal dari sebuah lembaga pendidikan Tasywirul Afkar di Surabaya dan K.H. Asnawi, seorang ulama terkenal di Kudus. Kongres adalah bentuk mobilisasi elemen-elemen Muslim Hindia Belanda untuk membangun persatuan dan memecahkan persoalan Muslim terutama di Hindia Belanda.

Salah satu poin pembahasan pada Kongres tersebut adalah tentang situasi Turki pasca Perang Dunia I. Kongres membahas perang di Turki dan kemenangan Mustafa Kemal Pasha dalam perang ini. Kemal dianggap sebagai pahlawan Islam karena telah mempertahankan wilayah Turki dari pendudukan sekutu.

Setelah mendengar oearaian tentang peperangan balatentara jang dikepalai oleh pahlawan Islam Moestafa Kemala Pasja ditanah Soeria (Azia Ketjil), dengan maksoed menoentoet kembali djadjahan dan daerah keradjaan Turky, jaitoe bagian Dar-al-Islam jang tadinja dengan nasib perperangan telah djatoeh kepada pihak lain, melahirkan sjoekoer dan soeka tjita atas rachmat dan nasr jang ditoendjoekkan oleh Toehan atas pasoekan Islam dengan pahlawannja itoe.

Atas dorongan Haji Agus Salim, kongres mengirim sebuah telegram kepada Mustafa Kemal sebagai ucapan selamat atas kemenangannya.

Memasuki periode kedua Kongres, Muslim di Hindia Belanda dihadapkan pada situasi dimana Kekhilafahan Islam di Turki mengalami persoalan besar. Mereka telah mengetahui bahwa Majlis Nasional Turki telah menghapus sistim Kekhilafahan dan mengusir Khalifah saat itu berserta keluarganya ke luar Turki. Mereka juga kemudian merasa untuk harus terlibat serta mencari solusi atas persoalan tersebut.

Perkembangan situasi di Turki kembali mendapat sorotan pada Kongres Al-Islam kedua yang diselenggarakan di Garut tanggal 19-21 Mei 1924. Sepanjang dua bulan sebelum kongres berlangsung, terjadi peristiwa penghapusan khilafah oleh Majelis Nasional Turki yang disusul dengan seruan ulama al-Azhar untuk mencari khalifah baru, dan proklamasi sepihak dari Syarif Husein di Mekkah sebagai khalifah umat Islam. Oleh karena itu kongres yang dipimpin oleh Haji Agus Salim dan pengurus besar Muhammadiyah ini membahas persoalan khilafah ini.

Dalam pidato pembukaan, Haji Agus Salim menempatkan peristiwa di Timur Tengah tersebut dalam konteks perjuangan antara dunia Islam dan pemerintah kolonial. Menurutnya, hubungan antara negeri-negeri Muslim buruk, persatuan mereka telah rusak, dan khalifah hanya hidup dalam khutbah Jum’at. Di berbagai tempat mereka dikuasai oleh bangsa asing. Di Ankara khalifah telah dipecat dan tidak ada khalifah baru di Istanbul. Kemudian Haji Agus Salim menegaskan, Kongres Al-Islam ini perlu mencari persatuan oleh karena itu merupakan sebuah kewajiban dalam mencari solusi atas permasalahan khilafah. Bagi Haji Agus Salim keberadaan sebuah pemerintahan muslim yang merdeka adalah suatu hal yang penting.

Pengorganisasian Gerakan: Komite Khilafah


Oleh karena merasa begitu pentingnya persoalan dunia Islam pada saat itu akibat penghapusan Kekhilafahan ini, maka Muslim di Hindia Belanda mulai menyatakan ikut terlibat dalam pembahasan tersebut. Sarekat Islam misalkan, menunjukan antusiasnya terhadap persoalan ini dan menegaskan sikapnya untuk terlibat. Dalam keputusan Kongres Nasional kesebelas Central Sarekat Islam pada Agustus 1924 di Surabaya mereka menyatakan:

“…hendak membantoe dengan segala kekoeatan boedi dan tenaganja semoea ichtiar jang menoedjoe maksoed akan mengirimkan oetoesannja oemmat Islam di Hindia-Timoer, boeat menghadiri Congres Igama Islam, jang diadakan di Cairo goena membitjarakan dan memoetoeskan perkara Chilafat Islam.”

Bersama sejumlah umat Islam yang lain, tokoh-tokoh Sarekat Islam seperti Tjokroaminto dan Agus Salim, merencanakan gerakan sosial untuk memahamkan dan mencari keputusan tentang persoalan ini. Pada pertengahan Agustus 1924 mereka membentuk Komite Khilafah.

Pembentukan Komite Khilafah tidak terlepas dari datangnya surat undangan kongres Kairo kepada Muslim di Hindia Belanda. Sekitar pertengah 1924 undangan kongres tersebut diterima oleh beberapa tokoh Arab dan asosiasi Arab di Jakarta dan Surabaya. Beberapa penerima mendekati Tjokroaminoto dan mengusulkan untuk mengirimkan sebuah delegasi dari Indonesia. Untuk memutuskan apakah sebuah delegasi perlu dikirim dan posisi apa yang harus diambil, maka pada 4-5 Oktober 1924 para pemimpin Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad mengadakan sebuah pertemuan di Madrasah Tarbiatoel Aitam Genteng Surabaya. Selain para pemimpin nasional dan lokal dari organisasi tersebut, pertemuan ini juga banyak dihadiri ulama-ulama besar, baik dari kalangan orang Arab maupun orang Jawa.

Dalam pertemuan tersebut terjadi diskusi yang panjang tentang khilafah dan pengiriman delegasi untuk kongres di Kairo. Tjokroaminoto dalam pidatonya menyampaikan tentang perlunya umat Islam memiliki seorang khalifah dan perlunya peran aktif umat Islam di Indonesia untuk kepentingan khilafah. Semua sepakat pentingnya Kongres Khilafah yang akan datang, tetapi beberapa orang mempermasalahkan biaya delegasi Indonesia ke Kairo yang sangat tinggi. Muncul saran untuk hanya mengirimkan mandat yang ditulis atas nama umat Islam Indonesia kepada kongres atau meminta mahasiswa Indonesia di Kairo untuk mewakili. Bahkan ada yang berpandangan bahwa pengiriman delegasi tidak akan berguna karena orang Arab akan menganggap delegasi Indonesia tidak lebih dari seekor lalat. Namun keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh sebagaian besar peserta. Haji Fakhruddin, seorang tokoh Muhammadiyah, memberi kepercayaan diri bagi umat Islam Indonesia. Jika memang benar orang Mesir memandang rendah orang Indonesia sebagai lalat, biarkan mereka tahu seperti apa lalat ini. Dia menegaskan, Islam tidak membuat perbedaan ras, orang Indonesia tidak kalah dari orang Mesir.

Pendapat Fakhruddin tersebut dikuatkan oleh pernyataan Tjokroaminoto. Belum pernah dalam sejarahnya diadakan sebuah kongres agama Islam sedunia, kongres ini akan menjadi yang pertama. Oleh karena hal ini menjadi suatu kewajiban umat Islam maka utusan sangat perlu dikirim ke Kairo. Tjokroaminoto percaya bahwa ada banyak orang Indonesia yang cakap menjadi utusan dan tidak akan dihina. Kemudian dia menegaskan bahwa sebagaimana yang diputuskan dalam kongres CSI beberapa waktu yang lalu, Sarekat Islam akan membantu dengan sekuat-kuat tenaga dan pikiran.

Haji Fakhruddin muncul dalam pertemuan ini sebagai pemimpin yang bijaksana dan kata-katanya beberapa kali menggoyangkan diskusi. Sementara Tjokroaminoto dan lainnya ingin segera mengambil keputusan tentang delegasi Kairo, Fakhruddin mengusulkan agar mendirikan Komite Khilafah (Comite Chilafat) untuk menangani masalah ini dan urusan umat Islam Internasional yang lain. Tampaknya Fakhrudin menginginkan umat Islam Indonesia memiliki peran yang lebih aktif dalam masalah besar yang dihadapi dunia Islam, dan pada saat yang sama memperkuat komunitas umat Islam di Indonesia.

Pertemuan ini juga membahas tentang konsep khilafah yang akan datang. Khalifah sejauh ini hanya mengurusi urusan agama saja sedangkan sebenarnya harus memiliki kekuasaan dalam urusan agama dan dunia. Segala keperluan khalifah merupakan kewajiban semua umat Islam dan dalam al-Qur’an disebutkan bahwa khalifah harus ada. Perlu diadakan Mejelis Khilafah dengan dikepalai oleh seorang ketua, dan ketua tersebut yang dinamakan khalifah, sedangkan anggota majelis tersebut haruslah diambil dari wakil umat Islam di masing-masing negeri. Fakhruddin kemudian menegaskan supaya khalifah berkududukan di Mekkah karena Mekkah adalah negerinya orang Islam sedunia. Kalau khalifah itu berkedudukan di salah satu tempat, Turki atau Mesir misalnya, tidak boleh tidak khalifah itu mesti mementingkan keperluan bangsanya sendiri daripada bangsa lain meskipun sesama umat Islam. Oleh kerena itu siapa saja yang dipilih menjadi khalifah harus bertempat tinggal di Mekkah. Tentang siapa yang akan menjadi khalifah diputuskan untuk diselidiki bersama-sama dengan umat Islam yang lain saat di Kairo nanti.

Sepanjang sejarah umat Islam Indonesia, pertemuan ini menjadi pertemuan khusus membahas khilafah yang pertama kali diadakan di Indonesia. Hasil penting dari pertemuan ini adalah kesepakatan bahwa keberadaan khilafah adalah wajib, dan kesediaan mereka untuk menghadiri Kongres Khilafah di Kairo. Dalam pertemuan ini dihimbau agar saat shalat Jum’at Imam Masjid menerangkan tentang kewajiban umat Islam untuk mengadakan khalifah dengan menggunakan bahasa anak negeri. Selain itu pembentukan Komite Khilafah dalam pertemuan ini dapat dikatakan sebagai bukti keseriusan mereka untuk mencampuri persoalan khilafah. Keputusan mengenai orang yang akan menjadi delegasi, mandat yang dibawa, serta biaya delegasi yang diperlukan ditunda ke Kongres Al-Islam Luar Biasa yang akan diselenggarakan segera oleh Komite Khilafah.

Pembentukan Komite Khilafah dinilai sebagai bentuk gerakan akumulatif berbagai elemen masyarakat Muslim pada saat itu untuk mencampuri persoalan Khilafah ini. Dengan dibentuknya suatu organasasi ini mereka ingin ada suatu pola gerakan terstruktur juga terukur. Komite ini juga dimaksudkan agar propaganda perjuangan ini bisa tersebar ke seluruh Hindia Belanda.

Untuk meluaskan arah dan pemahaman dari gerakan perjuangan khilafah pada saat itu maka dibentuk cabang-cabang komite khilafah di sejumlah kota. Di Cianjur misalkan telah didirikan cabang Komite Khilafah. Di kota beras ini juga, organisasi tersebut berhasil memobilisasi massa untuk datang ke dalam pertemuan yang membahas persoalan Khilafah ini.Pertemuan tersebut pernah diberitakan oleh surat kabar Bandera Islam, Pada hari Ahad 30 November jl. di Tjiandjoer telah di adakan rapat besar, dihadiri oleh kl. 3000 orang, diantaranja ada wakil-wakil Sasekat Islam Tjiandjoer, Sarekat Islam Soekaboemi, perh. Ianah Tjiandjoer, Moeawanah Tjiandjoer. Vergadering dipimpin oleh pengandjoer Sarekat Islam saudara Siswo, maksoednja membitjarakan perkara Chilafat. Telah di tetapkan Sub-Comite Chilafat terdiri dari pada saudara-saudara: Sajid Abdulkadir [voorzitter], Siswo [onder-voorzitter], H. Kembar [secretaries], Sajid Sadik [penningmeester] dan sebagai lid saudara-saudara: Zen. Moehtar, Mohd. Sanoesi, Akis, Mohd. Tarpi, H. Noeh, H. Mansoer dan H. Ma’moem.

Selain itu di Batavia (Jakarta) juga eksistensi Komite ini memberi sumbangan bagi perjuangan tersebut. Seperti yang diberitakan, Komite Khilafah Batavia sukses memobilisasi Muslim di daerah untuk mendatangi pertemuan yang kemudian menghasilkan rekomendasi calon delegasi Hindia Belanda untuk Kongres Kairo.

Candidat-candidat jang hendak dimadjoekan boeat mendjadi oetoesan ke Cairo: 1. M. Sajuty Loebies di Samarinda [Borneo], 2. K. Hadji Mas Mansoer Adviseur C. Sarekat Islam Soerabaja, 3.

O.S. Tjokroaminoto pemimpin pertama Congres Al-Islam Hindia, 4. K. Hadji A. Salim pemimpin kedoea Congres Al-Islam Hindia, 5. R. M. Soerjopranoto Commissaris C. Sarekat Islam Djokjakarta.

“Aksi 12-24”: Kongres Al-Islam Luar Biasa


Mobilisasi massa paling masif terjadi pada akhir Desember tahun 1924 dalam Kongres Al-Islam Luar Biasa. Komite Khilafah mengupayakan agar terciptanya kemufakatan “nasional” tentang perjuangan Khilafah dengan mengumpulkan berbagai elemen Muslim Hindia Belanda. Kongres ini memang berhasil dihadiri oleh banyak peserta baik dari kalangan tokoh pergerakan maupun ulama.

Kongres Al-Islam Luar Biasa diselenggarakan pada tanggal 24-27 Desember 1924 di Surabaya. Kongres ini dihadiri oleh para ulama dan 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang. Ada tiga keputusan yang dihasilkan dari kongres ini. Pertama, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan khilafah. Kedua, disepakati akan terus didirikan Komite Khilafah di seluruh Indonesia. Dan terakhir, diputuskan akan mengirimkan tiga orang utusan sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres Kairo dengan enam butir mandat yang telah disepakati. Tiga orang utusan tersebut adalah Surjopranoto dari Sarekat Islam, Haji Fachruddin dari Muhammadiyah dan K. H. A. Wahab Hasbullah dari kalangan tradisional.

Kongres juga membahas masalah biaya yang dibutuhkan. Sebuah komite yang sudah mati pergerakannya, Tentara Nabi Muhammad, yang beberapa tahun sebelumnya telah menerima banyak dukungan dari Orang Arab kaya, menyerahkan sisa dananya sebesar 3100 gulden kepada Komite Khilafah. Tambahan dana lagi dari Al-Irsyad sebesar 500 gulden. Sedangakan dari peserta kongres yang lain tidak lebih terkumpul sebesar 444 gulden. Hasil lain dari kongres adalah mandat yang akan dibawa delegasi ke Kairo. Mandat ini disiapkan oleh Komite Khilafah, setelah beberapa diskusi, diadopsi oleh kongres tanpa perubahan signifikan. Dalam mandat tertera usulan untuk memodernisasikan khilafah, refresentatif, dan terpilih. Poin utama dari mandat tersebut sebagai berikut:

1. Agar dibentuk suatu Majelis Khilafah yang melaksanakan kekuasaan dan kewajiban khalifah atas dasar hukum-hukum Qur’an dan Hadits

2. Kepala Majelis mengatur, menjaga, dan mengupayakan terlaksananya keputusan-keputusan Majelis

3. Kepala Majelis dipilih oleh Majelis berdasrkan Syari’ah yang disetujui atasnya dalam permusyawaratan khilafah kemudian pemilihan tersebut diumumkan agar mendapat pengakuan dari seluruh umat Islam di dunia

4. Majelis Khilafah mengupayakan persamaan paham dan peraturan bagi segala perkara hukum Islam

5. Majelis Khilafah hendaklah berada di Mekkah

6. Tentang biaya untuk Majelis Khilafah bersama-sama perlu ditemukan kesepakatan dengan umat Islam yang lain atas hal ini.

Pertemuan tersebut dapat dinilai sebagai mobilisasi massa dan terkategori sebagai tindakan sosial (social action) dimana empat elemen seperti diungkap Smelser bisa terindikasi.

Kongres Mekkah dan Perpecahan Internal Muslim Hindia Belanda Tidak lama setelah kongres tersebut, terdengar kabar bahwa Kongres Kairo ditunda satu tahun kedepan kemudian disusul dengan kedatangan undangan Kongres yang akan diadakan di Mekkah. Beberapa perdebatan muncul untuk menyikapi undangan yang kedua ini. Sebagian besar suara menginginkan untuk terlibat dengan Kongres Mekkah dengan didasari berbagai alasan utama termasuk pemikiran Khilafah haruslah berada di Mekkah.

Pada awal 1925, Ibnu Sa’ud, penguasa Mekkah, mengumumkan niatnya untuk menyelenggarakan Kongres dunia Muslim di Mekkah. Sebelumnya, dalam perang Hijaz, Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekkah. Setelah kemenangan itu, pemimpin Wahabi ini mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek agama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid al-Haram. Sebagian tindakan ini mendapat sambutan baik di Indonesia tetapi sebagian juga ditolak, terutama oleh golongan tradisional. Dengan kemenangan Ibnu Saud ini, baik Mekkah maupun Kairo berebut kedudukan khilafah.

Undangan dari Ibnu Sa’ud tersebut menjadi topik pembicaraan dalam Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta dan kelima di Bandung. Kedua kongres ini didominasi oleh golongan pembaharu. Pada Kongres keempat, friksi yang ada sebelumnya semakin muncul kepermukaan. K. H. Abdul Wahab, juru bicara golongan tradisional, mengusulkan kepada kongres untuk mengirim delegasinya ke Mekkah setelah Kongres Kairo untuk menjumpai Ibnu Saud supaya memberi toleransi mazhab dan praktek tradisional. Atas usulannya tersebut, K.H. Abdul Wahab mendapatkan respon yang membuatnya kecewa. Banyak kalangan pembaharu segan datang untuk membela praktek keagamaan yang mereka sendiri menentang. Oleh sebab itu golongan tradisional merasa Kongres Al-Islam sudah tidak memiliki kegunaannya lagi untuk mereka.

K. H. Abdul Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat kalangan ulama golongan tradisional. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Hijaz. Komite ini kemudian diubah menjadi Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya pada 31 Januari 1926. Masalah Hijaz masih menjadi pokok pembicaraan utama. NU menekankan keterikatannya pada mazhab Syafi’i dan memutuskan untuk bersungguh-sunguh menjaga kebiasaan bermazhab di Mekkah dan di Indonesia. Selain itu mereka pun tidak menghalangi pihak yang tidak mau mengikuti mazhab Syafi’I.

Kongres Al-Islam kelima diselenggarakan di Bandung pada Februari 1926, dengan tidak dihadiri oleh NU. Antusiasme golongan pembaharu kepada Ibnu Sa’ud pada kongres tidak berkurang. Kemudian kongres memilih delegasi baru yang terdiri dari Tjokroaminoto dan K.H. Mas Mansur. Kongres di Mekkah diadakan pada 1 Juni 1926. Selama kongres berlangsung, delegasi Indonesia ini tidak memberi kesan bagi peserta kongres yang lain dan tidak pernah angkat bicara. Bahkan Tjoroaminoto yang dikenal orator ulung di Indonesia tidak paham bahasa Arab. Kongres Mekkah ini tidak menyinggung soal-soal politik untuk menghindari timbulnya masalah . Dalam surat kawat yang dikirim dari Mekkah, Tjokroaminoto menyatakan bahwa kongres yang diikutinya itu berusaha meningkatkan derajat umat Islam. Kongres juga membuat rumusan tata-tertib untuk kongres berikutnya. Oleh karena itu kongres gagal menuntaskan persoalan khilafah.

Sekembalinya ke tanah air, mereka disambut dengan Kongres Al-Islam keenam pada 23 September di Surabaya. Dalam kongres ini mereka menyampaikan laporan perjalanan mereka selama mengikuti kongres di Mekkah. Diputuskan pula dalam kongres ini untuk menggabungkan Kongres Al-Islam dengan Kongres Islam Sedunia di Mekkah sehingga menjadi cabang Hindia Timur. Nama Kongres Al-Islam kemudian diubah menjadi MAIHS (Mu’tamar al-‘Alam al-Islami far’ al-Hindiyya al-Syarqiyyah), Kongres Al-Islam Sedunia cabang Hindia Timur. Kongres juga menetapkan Haji Agus Salim sebagai pimpinan MAIHS dengan keseketariatan bertempat di Surabaya.

Hasil ironis muncul setelah kongres tersebut, pengiriman delegasi ke Mekkah yang antara lain bertujuan untuk berpartisipasi dalam mewujudkan persatuan dunia Islam justru telah membawa dampak yang tidak baik bagi persatuan umat Islam di Indonesia. Dampak yang pertama adalah retaknya hubungan antara golongan tradisional dan golongan pembaharu. Seperti yang telah diuraikan keretakan ini disebabkan oleh adanya ketidakpuasan golongan tradisional yang merasa aspirasi mereka tidak terwakili pada Kongres Al-Islam keempat dan kelima. Oleh karena merasa kecewa mereka keluar dari Kongres Al-Islam dan keanggotaan Komite Khilafah.

Dampak yang lain adalah merenggangnya hubungan diantara golongan pembaharu sendiri, yakni antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Kerenggangan hubungan ini awalnya terjadi karena adanya rumor mengenai pribadi Tjokroaminoto yang mengecewakan ulama Muhammaddiyah selama di Mekkah. Pada saat Tjokroaminoto di Mekkah, beberapa tokoh Muhammadiyah berada di Mekkah pula untuk menunaikan ibadah haji. Ketika itu mereka kecewa melihat perilaku Tjokroaminoto, suatu hal yang tidak mereka duga terdapat pada pemimpin besar ini. Walaupun Kongres Al-Islam keenam menangkis tuduhan-tuduhan itu dan berharap agar hubungan antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah tidak terpengaruh olehnya, tetap saja kerenggangan hubungan keduanya tidak dapat dihindari.

Buntut dalam masalah tersebut adalah pemberlakuan disiplin partai oleh Sarekat Islam kepada Muhammadiyah. Pada Januari 1927 kongres Sarekat Islam di Pekalongan memutuskan untuk membolehkan cabang-cabang partai melakukan “disiplin” terhadap anggota Muhammadiyah bila tindakan tersebut disetujui pusat. Kongres juga memerintahkan pengurus eksekutif partai agar melarang para anggotanya menghadiri kongres Muhammadiyah yang akan dilaksanakan pada tahun itu juga. Puncak keretakan terjadi pada tahun 1929. Sarekat Islam mengambil tindakan disiplin umum terhadap Muhammadiyah. Dengan demikian setiap anggota Sarekat Islam tidak boleh merangkap menjadi anggota Muhammadiyah. Mereka harus memilih salah satu antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah.

Sarekat Islam kemudian berusaha memonopoli persoalan khilafah. Mereka mengklaim sebagai satu-satunya wakil umat Islam Indonesia dengan mengubah MAIHS menjadi bagian dari partainya. Perubahan itu dilakukan meskipun tidak disetujui oleh Muhammadiyah. Oleh karena itu setelah perubahan ini periode Kongres Al-Islam selanjutnya eklusif menjadi pertemuan Sarekat Islam saja.

Pada tahun 1927 berlangsung kongres kedua Mekkah, di mana dari Indonesia dihadiri oleh Haji Agus Salim. Oleh karena MAIHS sudah ‘dimonopoli’ oleh Sarekat Islam maka kepergian Haji Agus Salim ini pun atas nama Sarekat Islam dan tidak bisa dikatakan sebagai perwakilan umat Islam Indonesia secara umum. Kongres sendiri tidak berusaha menuntaskan masalah khilafah. Menurut Haji Agus Salim, Ibnu Saud tidak menginginkan masalah ini dibicarakan dalam kongres.

Demikianlah masalah khilafah menjadi semakin mereda. Baik kongres di Mekkah maupun di Kairo menutup pembicaraan masalah khilafah. Pertemuan Islam Internasional yang sering diselengarakan pada periode selanjutnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha menegakan khilafah. Hubungannya pertemuan-pertemuan tersebut dengan istilah Pan-Islamisme hanyalah dalam arti meningkatkan solidaritas sesama umat Islam bukan dalam arti untuk menegakan khilafah.

Begitupun di Indonesia, setelah friksi internal umat Islam semakin membesar, perjuangan khilafah yang semula menjadi “perjuangan bersama” akhirnya ditinggalkan. Sarekat Islam yang kemudian memonopoli masalah ini pun pada akhirnya meninggalkannya. Hal ini sejalan dangan sikap Sarekat Islam pada 1929 yang melepaskan Pan-Islamismenya dan berpihak pada nasionalisme Indonesia. Disamping itu, organisasi lain seperti Muhammadiyah dan NU memokuskan perjuangan mereka kepada urusan agama, pendidikan dan sosial.

Penulis:
Septian Abu Wisam(septian.shum@gmail.com)
Rujukan
- Surat KabarBataviaasch Nieuwsblad Bandera IslamDe Indische Courant Hindia Baroe Het Nieuws Medan Moeslimin Neratja Soera Perasaudaraan
- JurnalMartin van Bruinessen, “Muslim of the Dutch East Indies and The Caliphate Question”, dalam Studia Islamika, Vol 2, No. 3, 1995, hlm. 115-140.
- BukuAqsha, Darul. Kiai Haji Mas Mansur (1986-1946) Perjuangan dan Pemikiran. Jakarta: Erlanga, tanpa tahun.
Iskandar, Mohammad. Para Pengemban Amanah Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia, 1992.
Korver, A.P.E.. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafitipers, 1985. Kutoyo, Sutrisno. Kiai Haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Depdikbud, 1985.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.
Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1996.
Syukri, Ahmad. Merekam Jejak Nasionalisme dalam Islam. Jakarta: Hayfapers, 2007.
Utomo, Cahyo Budi. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press, 1995.
Wahid, Abdurrahman. (Ed.). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Wahid Institute, 2009.
Zurcher, Erik J.. Sejarah Modern Turki. Jakarta: Gramedia, 2003.
SEPTIAN A.W. adalah pegiat literasi kelahiran 13 September 1989. Pria yang pernah mengenyam pendidikan S1 dan S2 studi Sejarah di kampus negeri ternama ini telah menjadi bagian dari gerakan Hizbut Tahrir sejak 2005 dan menjadi editor penerjemah buku The Inevitable Caliphate? edisi bahasa Indonesia pada 2019.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel