
KERUNTUHAN KHILAFAH DAN RESPON ULAMA PADA MASA ITU
Selasa, 05 Maret 2019
Edit

Pendahuluan
Perbincangan tentang Khilafah, sebagaimana yang bisa disaksikan hari ini, menjadi hal yang banyak muncul di tengah masyarakat. Betapapun pandangan pro dan kontra nampak, Khilafah menjadi tema populer di hampir seluruh media komunikasi baik cetak maupun digital. Beragam latar belakang masyarakat terlibat dalam perbincangan tema ini, baik dari kalangan ulama, akademisi, dan tokoh masyarakat yang lain hingga orang awam sekalipun. Khilafah telah menjadi perbincangan yang melibatkan beragam lapisan masyarakat dengan segala intonasinya.
Secara historis, Khilafah adalah sebuah pemerintahan yang berkembang menjadi imperium transnasional multietnis di mana ikatan iman dan aturan syariah merupakan dasar bagi pemerintahan yang terpusat. Khalifah sebelumnya memerintah atas bagian - tetapi tidak semua - dari dunia Muslim antara abad ketujuh dan kedua puluh, dan manifestasi terakhirnya, Khilafah Turki Usmani, dihapuskan pada tahun 1924. Bagi umat Islam, konsep dan visi Khilafah telah hidup sepanjang sejarah keberadaan mereka. Meskipun sesaat daya tarik terhadap Khilafah pernah menghilang namun hari ini, sebagaimana yang diungkap sejumlah peneliti barat, Khilafah telah memunculkan perdebatan panas lebih dari konsep Islam lainnya.
Di tengah populernya isu tentang Khilafah dewasa ini, terdapat sejumlah hal penting yang jadi menarik untuk ditinjau ulang. Hal tersebut diantaranya soal bagaimana tanggapan masyarakat Islam terutama kalangan ulama atas pembubaran Khilafah Usmani sesaat setelah peristiwa itu terjadi. Hal lain adalah soal kapan awal ide perjuangan Khilafah ini muncul lalu mengapa perlahan menghilang ketika itu. Peninjauan ulang tersebut perlu dilakukan agar terungkap informasi mendalam tentang persepsi mayarakat terhadap isu Khilafah sepanjang berjalannya waktu. Kemudian, informasi itu diharapakan bisa menjadi pertimbangan ataupun gambaran atau bahkan proyeksi untuk melihat ke arah mana isu yang berkembang saat ini akan berujung; keberhasilan atau kegagalan-kah?
Makalah ini secara singkat akan membahas permasalahan yang telah diungkap di atas. Beberapa literatur menjadi referensi agar dapat diperoleh informasi utuh seperti yang diharapkan. Tentang tanggapan masyarakat Islam terutama kalangan ulama terhadap penghapusan sistem Khilafah, buku Mona Hassan Longing For The Lost Caliphate: A Transregional History paling baik untuk dijadikan rujukan. Buku yang diadaptasi dari disertasi ini membahas pandangan masing-masing sejumlah ulama terkait masalah kebijakan penghapusan Turki Usmani dan keabsahan sistem Khilafah dalam ajaran Islam, baik yang pro maupun kontra. Adapun buku Reza Pankhurst The Inevitable Caliphate a History Of The Struggle For Global Islamic Union 1924 To The Present memberikan banyak gambaran tentang berbagai usaha awal penegakan kembali Khilafah yang telah dilakukan sejumlah ulama bersama elemen umat Islam yang lain di masa lalu. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini juga menjelaskan tentang sebab-sebab kegagalan dan latar mengapa akhirnya usaha tersebut ditinggalkan oleh arus utama umat Islam.
Perdebatan Sengit Setelah Pembubaran Khilafah

Ketika Mustafa Kemal secara resmi menghapuskan Khilafah pada 3 Maret 1924, reaksi berdatangan dari berbagai wilayah, seperti Mesir, Libya, Suriah, Afghanistan dan India. Berbagai reaksi itu mencerminkan adanya ikatan dengan Khilafah, meskipun pada hakikatnya Khilafah telah runtuh bertahun-tahun yang lalu. Keruntuhan Khilafah yang begitu tiba-tiba juga mengejutkan kalangan elit politik dan pemuka agama di seluruh wilayah Timur Tengah dan negeri Muslim pada umumnya. Situasi itu membuat Sharif Husain dari Hijaz menyatakan diri sebagai khalifah untuk menjawab keraguan mayoritas umat Muslim di seluruh dunia. Konferensi di Kairo pada 1926 dianggap sebagai upaya terselubung raja Mesir, Ahmad Fu'ad, untuk merebut gelar khalifah. Konferensi itu sebenarnya sudah dijadwalkan pada 1925, tetapi tertunda karena berbagai masalah politik. Salah satunya adalah kegaduhan yang timbul akibat penerbitan buku berjudul al-Islam wa Usul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan). Salah satu bagian dalam buku itu menyatakan bahwa Khilafah sebenarnya merupakan institusi yang tidak Islami dan bahwa Islam sama sekali tidak berkaitan dengan politik. Pernyataan itu tentu saja bertentangan dengan pandangan yang selama ini dipegang oleh umat Islam selama empat belas abad. Penulis merupakan seorang lulusan al-Azhar bernama Ali Abdul-Raziq. Ia dijatuhi sanksi berupa pencabutan ijazah dan pelarangan bekerja sebagai hakim. Sanksi itu diambil berdasarkan keputusan bulat dalam sidang yang beranggotakan dua puluh empat rekannya. Kemarahan dan protes terhadap penghapusan simbol sejarah Islam yang berusia berabad-abad itu pada akhirnya memang mereda. Akan tetapi, pada 1930-an, berbagai pertanyaan tentang Khilafah dan cita-cita penegakannya tidak lagi terlihat relevan. Gagasan Khilafah justru terbengkalai dalam ruang politik.
Di Mesir penghapusan Khilafah telah membangkitkan sentimen dan emosi Islam di seluruh kalangan masyarakat karena Khilafah dianggap sebagai faktor pemersatu umat Islam dan bukti keberlangsungan sejarah mereka. Dalam pertemuan dewan di al-Azhar pada 25 Maret 1924, para ulama merilis pernyataan mengenai pandangan Islam bahwa Khilafah adalah "kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia,” perwakilan Rasulullah dalam "melindungi agama dan penerapan hukum-hukumnya." Bahkan, mereka mengklaim bahwa "Khilafah pimpinan Abdul Majid bukanlah Khilafah yang sah" karena "Islam tidak mengakui khalifah" setelah kekuasaannya dipisahkan, dan karena baiat tidak diberikan kepadanya oleh kaum Muslim dengan cara yang diakui syariah.
Semua penguasa saat itu, termasuk Raja Fu'ad, Sharif Hussain, dan Ibnu Saud, pada awalnya berpura-pura tidak tertarik. Hussain sempat mengklaim bahwa ia menduduki posisi itu dalam waktu singkat setelah mengambil sumpah dari sejumlah pendukungnya. Akan tetapi, pernyataannya yang “prematur” tidak dianggap serius oleh orang-orang di sekitarnya, apalagi oleh umat Muslim secara luas. Seorang sejarawan Mesir, Ahmed Shafiq, mengatakan bahwa “di Mesir ada kesepakatan atas wajibnya keberadaan Khilafah dalam bentuk apapun, dan bahwa Husain bin Ali tidak akan menjadi khalifah.” Di Mesir isu Khilafah menjadi dagangan politik antara Raja dengan pihak liberal. Beberapa pihak berpendapat bahwa istana berada di belakang ulama al-Azhar. Pernyataan bahwa “Inggris menginginkan Fu'ad menjadi khalifah” dianggap sebagai kebohongan oleh lawan politiknya, terutama oleh Partai Konstitusional Liberal. Hal itu sangat ironis mengingat bahwa keluarga yang mendirikan partai itu diketahui sebagai pendukung Inggris di Mesir dan dikenal memiliki hubungan dekat dengan Konsulat Inggris di Mesir, Lord Allenby. Konflik antara Raja dan partai Allenby merupakan perebutan konstitusional dan legal yang tidak ada hubungannya dengan al-Azhar. Akan tetapi, kegemparan timbul setelah penerbitan buku berjudul "Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan" yang menantang konsep Islam klasik tentang Khilafah. Situasi itu dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk saling menjatuhkan.
Sang penulis buku, Ali Abdul-Raziq, merupakan lulusan al-Azhar dari keluarga politisi yang mendirikan partai Konstitusional Liberal. Karena pengaruh keluarga dan kemampuan finansial, ia dapat berkuliah di Universitas Oxford sebelum pecahnya Perang Dunia I. Ia kembali ke Mesir untuk bekerja sebagai hakim di pengadilan syariah. Di tengah-tengah kesedihan umat atas nasib Khilafah, dan kesepakatan di Mesir bahwa Khilafah harus dibangun kembali dalam bentuk tertentu, buku Raziq menampar ajaran Islam dan menantang pandangan saat itu. Bagi Raziq, Khilafah ''tidak ada kaitannya dengan agama, begitu pun peradilan, pemerintahan, dan negara'' yang "murni masalah politik." Agama "tidak mengakui Khilafah, dan tidak juga menyangkalnya, dan tidak memiliki perintah atau larangan apa pun tentang Khilafah.'' Agama membiarkannya begitu saja agar kita mengacu kembali kepada aturan pemikiran, pengalaman bangsa-bangsa, dan dasar-dasar politik.
Menurut Raziq, dalam pandangan klasik tentang kepemimpinan, khalifah memperoleh otoritasnya langsung dari Tuhan atau umat, dan ia membandingkan hal itu dengan argumen Hobbes dan Locke. Ketika membahas beberapa hadits Rasul yang berkaitan dengan hukum, Khilafah, dan baiat, Raziq mengacu kepada Alkitab dan ayat-ayat (yang diduga diucapkan oleh Yesus) untuk “menyerahkan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah, dan menyerahkan kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar." Raziq menjelaskan bahwa "segala sesuatu dalam riwayat Rasul yang menyebutkan kepemimpinan, Khilafah, dan baiat tidak menunjukkan apa pun yang melebihi pernyataan Yesus tentang beberapa hukum pemerintahan kaisar.” Ia juga menolak dalil yang umumnya digunakan untuk menunjukkan pandangan Islam klasik tentang kewajiban Khilafah, terutama dengan menolak konsep konsensus secara keseluruhan.
Secara historis, negara pada masa Rasulullah "berbentuk kesatuan Islam dan bukan kesatuan politik." "Kepemimpinan Rasul di antara mereka hanya berupa kepemimpinan religius," dan "kepatuhan umat kepada Rasul merupakan wujud keyakinan beragama, bukan ketaatan terhadap pemerintah dan otoritas.” Aturan umat yang hidup setelah wafatnya Rasulullah, termasuk generasi pertama kaum Muslim, "tidak memiliki kaitan dengan risalah Rasul dan tidak didirikan berlandaskan agama." Alih-alih menjadi negara Islam, negara itu menjelma menjadi entitas kerajaan Arab. Khilafah, menurut Raziq, "hanya, dan akan selalu, menjadi bencana bagi Islam dan kaum Muslim.” Di bagian akhir, ia menyatakan bahwa "agama Islam tidak melarang kaum Muslim bersaing dengan negara lain," dan bahwa kaum Muslim wajib "menghancurkan sistem usang yang merendahkan dan membuat mereka tunduk," sekaligus membangun "dasar-dasar kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang dilandasi oleh hasil pemikiran manusia yang paling modern.”
Sebagai kesimpulan, buku yang diklaim Raziq disusun selama sembilan tahun merupakan upaya untuk memutuskan hubungan antara kaum Muslim dan Khilafah. Buku itu juga digunakan untuk merekonstruksi Islam sesuai gambaran Kristen Eropa, tetapi tanpa adanya paus. Pada awalnya gagasan sekularisme di atas adalah solusi untuk masalah di Eropa saja dan tidak disebarkan di Timur Tengah kecuali oleh sebagian kecil komunitas yang dikenal meniru tren politik dan budaya Barat secara membabi buta. Di sisi lain, Raziq tidak ubahnya seperti kritikus yang "berpakaian Islami," yang memandang Islam seperti Kristen, dan Khilafah seperti aturan Gereja. Oleh karena itu, bagi Raziq, sekularisme menjadi "solusi Islami bagi masalah Islam.”
Rashid Rida menjadi salah satu pihak yang pertama mencela buku itu di al-Manar. Ia menyebutnya sebagai "gagasan jahat" yang " sebelumnya tidak pernah diucapkan oleh siapa pun yang mengaku Islam, apakah ia jujur atau tidak." Faktanya, "Khilafah Islam adalah sistem terbaik yang dikenal manusia." Berbeda dari apa yang dikatakan Raziq, Rida menyatakan bahwa "Muslim merupakan bangsa terbesar ketika mereka menegakkan Khilafah," dan kemunduran terjadi karena umat meninggalkannya. Ia kemudian mendorong 'ulama' lain untuk mengecam Raziq karena telah “menolak Khilafah yang sejatinya merupakan institusi Islam yang diwajibkan oleh syariah.”
Raziq dipanggil oleh Dewan Ulama dan bukunya dikaji oleh dua puluh empat rekannya. Pada 12 November 1925, sebuah putusan dikeluarkan dengan suara bulat untuk mengecam dan mengeluarkan Raziq dari jajaran ulama. Berbagai klaimnya dianggap sesat yakni bahwa Islam hanyalah agama spiritual, bahwa sistem pemerintahan Islam tidaklah jelas, atau bahwa aturan yang diterapkan oleh generasi awal para pemimpin Muslim tidak didasarkan pada agama. Dewan memutuskan bahwa "gagasannya cukup untuk menempatkannya sebagai kelompok khawarij dan bukan bagian dari Muslim.” Langkah itu semakin menegaskan pemahaman normatif tentang Khilafah dan politik dalam Islam tradisional.
Raziq menyatakan pembelaannya dengan mengatakan bahwa ia hanya menciptakan "sebuah aliran pemikiran baru dalam masalah itu.” Keluarga dan rekan-rekannya dari Konstitusional Liberal dan surat kabar, seperti corong partai itu, al-Siyassa, bersatu melawan putusan dengan mengklaim bahwa itu adalah bagian dari kebebasan berbicara. Raziq dipandang oleh para pendukungnya sebagai "Luther dari Mesir," dan pandangannya dianggap sebagai seruan untuk mengembalikan kedaulatan kepada umat yang menentang tipu daya Istana. Politisi Mesir terkemuka lainnya, seperti Sa'ad Zaghloul, memiliki pendapat yang sangat berbeda. Ia mengatakan bahwa ia “terheran-heran melihat seorang ulama Islam menulis soal masalah Khilafah.” Meskipun “banyak membaca karya orientalis dan yang sejenisnya," ia "tidak pernah menemukan salah satu dari mereka menyerang Islam dengan amarah seperti itu." Di akhir, Zaghloul merasa bahwa Raziq "tidak memahami dasar-dasar agama" karena "jika paham, bagaimana mungkin ia dapat mengklaim bahwa Islam bukanlah sebuah peradaban, dan bahwa Islam tidak memiliki sistem yang sesuai untuk memimpin?” Apa pun kelemahan buku itu, faktanya, konfrontasi antara partai Liberal dan pemerintah sebagian besar disebabkan oleh masalah lain, dan kontroversi buku itu dimanfaatkan hanya untuk kepentingan politik.
Kemarahan terhadap buku itu terus berlanjut dengan terbitnya berbagai bantahan yang ditulis oleh para ulama di dalam dan luar Mesir. Di Mesir, ulama al-Azhar, Syekh Yusuf al-Dijwi, menulis bantahan terhadap Raziq di koran Mesir, al-Akhbar. Penghinaan para pendukung Raziq terhadap bantahan itu semakin meningkatkan ketegangan. Mohammad ibn 'Ashur dari Tunisia mengkritik klaim bahwa ada aliran pemikiran dalam Islam yang meyakini bahwa khalifah memperoleh kekuasaannya dari Allah. Ia juga membantah analogi para pemikir Eropa, seperti Hobbes dan Locke, karena tidak ada dikotomi semacam itu dalam pemikiran Islam. Sebaliknya, "Islam ditopang oleh negara" dan "negara adalah bagian dari Islam karena agama dan negara menyatu.” Dengan demikian, Khilafah adalah "pilar agama," atau lebih tepatnya "pelindung semua pilar agama." Pernyataan Raziq bahwa Khilafah hanya murni politik pada hakikatnya bertentangan dengan fakta bahwa baiat sejak generasi pertama Muslim dan seterusnya selalu "diambil berlandaskan Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Dua bantahan yang paling komprehensif dan dinamis berasal dari Muhammad al-Khidr Hussein, seorang ulama Tunisia yang menghabiskan waktu di penjara Suriah karena melawan rezim Perancis, dan Muhammad Bakhit, kepala Universitas al-Azhar saat itu. Bakhit menolak klaim Raziq karena tidak ada dalil Islami yang mendukung berbagai klaim itu. Ia pun mengingatkan pembacanya bahwa "penggalian berbagai isu tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan pemikiran" karena ijtihad dalam hukum Islam wajib dilakukan dengan "berlandaskan pada al-Qur'an, as-Sunnah, ijma’, atau qiyas.” Ia juga mengecam pernyataan Raziq bahwa Khilafah hanya menjadi “sumber malapetaka.” Berbeda dengan Raziq yang begitu bangga terhadap bangsa Eropa, Bakhit justru berpendapat bahwa setelah wafatnya Rasul, “kaum Muslim-lah yang pertama kali menerapkan aturan bahwa kekuasaan ada di tangan umat, dan bahwa umatlah yang memilih pemimpinnya,” dan aturan itu ditetapkan oleh syariah. Buku Bakhit dianggap sebagai kritik yang sangat tajam. Buku setebal hampir seratus halaman itu merinci beberapa aspek politik negara di bawah kepemimpinan Rasul (mulai dari penyelesaian sengketa hingga korespondensi diplomatik dan propaganda), dan dilengkapi dengan celaan yang begitu jelas terlihat terhadap Raziq.
Al-Khidr Hussain, yang juga teman dekat Raziq, mengesampingkan urusan pribadinya dalam tulisannya berjudul Naqd Kitab Al-Islam wa Usul Al-Hukm (Bantahan terhadap Buku '’Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan’.” Tulisan itu membahas argumen Raziq dengan begitu detail. Menurutnya, "kekuasaan yang diberikan kepada khalifah tidak lebih besar dari kekuasaan kepala pemerintahan konstitusional" karena pemilihannya "hanya untuk periode yang ditetapkan," yakni selama ia "menetapkan aturan syura yang semestinya" serta "mengerahkan segala upaya untuk melindungi hak-hak umat dan tidak menghalangi kebebasan mereka.” Seperti Ibn 'Ashur, ia juga menolak perbandingan dengan filsuf dan mazhab pemikiran Eropa, khususnya pemikiran Hobbes.
Menurut pemahaman al-Khidr, Hobbes meyakini bahwa setiap individu harus tunduk pada otoritas Raja, sedangkan para ulama Islam menyatakan bahwa penguasa tidak boleh dipatuhi kecuali jika ia memerintah dengan kebenaran. Hobbes mengklaim bahwa ketundukkan penguasa kepada rakyat bertentangan dengan hakikat sebuah hierarki. Sebaliknya, para ulama Islam justru menyatakan bahwa penguasa wajib tunduk bahkan kepada kalangan kelas bawah jika mereka mengajaknya kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan. Selain itu, Hobbes menyatakan bahwa agama tunduk kepada Raja, sedangkan para ulama Islam mengatakan bahwa para penguasa wajib tunduk pada aturan Islam, yang ditentukan dalam sumber-sumber hukum Islam atau yang berasal proses ijtihad. Berbeda jauh dari sistem yang zhalim, "Islam justru mengobarkan perang melawan segala bentuk kezhaliman” melalui Khilafah yang telah "membebaskan banyak negeri dan memberikan mereka kesempatan merasakan manisnya keadilan setelah mengalami berbagai siksaan, tekanan, dan penindasan.”
Sama seperti Bakhit, proses ijtihad yang sahih juga ditekankan oleh al-Khidr. Ia menyatakan bahwa "sumber-sumber hukum syariah hanya terdiri dari Kitabullah, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas.” Aturan khusus dari sumber-sumber itu juga dianggap sebagai dalil yang dapat diterima untuk setiap hukum yang digali. Dengan demikian, jika al-Qur'an tidak menjabarkan dalil yang jelas tentang kewajiban Khilafah, dalil itu dapat diperoleh dari sumber-sumber hukum lain yang telah disepakati. Setiap keputusan atau pendapat yang dilandasi oleh selain sumber-sumber hukum itu tidak dianggap ijtihad. Oleh karena itu, alih-alih dianggap sebagai "mazhab pemikiran baru," pendapat Raziq benar-benar dikecam sebagai hasil ijtihad yang bertentangan dengan Islam dan tidak memiliki kredibilitas religius sama sekali.
Batasan wacana dan ijtihad Islam dibangun dengan begitu kuat. Karena telah keluar dari batas-batas ajaran Islam, buku itu justru diapresiasi oleh para sekularis saat itu, termasuk Taha Hussain dan Mohammad Husain Haikal, yang umumnya berpendapat bahwa Khilafah Islam telah menyimpang dari agama karena khalifah bertindak zhalim. Mereka juga berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan dokumen sejarah yang harus dibaca dalam konteks, bukan wahyu yang dapat dijadikan dasar ijtihad. Raziq sendiri kemudian menarik pandangannya di kemudian hari dengan menolak permintaan cetak ulang buku itu. Bahkan, menurut keluarganya, ia menyusun bantahan terhadap bukunya sendiri menjelang kematiannya. Meskipun begitu buku Raziq telah dan akan tetap memberikan kontribusi yang signifikan bagi peran Islam dalam politik, meskipun faktanya, dari sudut pandang normatif, gagasan Raziq dikecam pada saat itu. Walaupun berperan dalam pergulatan politik Mesir pada 1920-an, buku itu tetap dianggap keluar dari batas-batas ajaran Islam yang disepakati. Gagasan Raziq merupakan rujukan utama bagi mereka yang menyatakan bahwa Khilafah bukanlah kewajiban Islam. Buku itu pun landasan bagi klaim serupa setelah klaim yang dilontarkan kaum khawarij.
Perjuangan di Masa Lalu dan Kegagalannya

Terlepas dari kemenangan para ulama, kekacauan pada konferensi Khilafah yang diusulkan saat itu tidak dapat dielakkan. Tidak hanya ditunda selama satu tahun, konferensi itu juga disalahartikan sebagai upaya untuk menobatkan Raja Fu'ad sebagai khalifah. Hal itu terjadi karena propaganda yang disebarkan oleh kandidat lain. Selain itu, kontroversi seputar buku Raziq juga diangkat oleh surat kabar oposisi sebagai konflik al-Azhar (yang bertindak atas nama aspirasi penobatan Raja sebagai khalifah) melawan gagasan Raziq. Sebuah konferensi tandingan di Mekah yang diadakan oleh pesaing utama Fu’ad, Sharif Hussain, juga tidak efektif. Tidak ada keputusan apa pun yang diambil baik dalam konferensi, maupun dalam kegiatan apa pun yang dilaksanakan setelahnya. Meskipun dikecam secara akademis oleh kalangan ulama, buku Raziq dimanfaatkan demi keuntungan politik oleh beberapa lawan kerajaan untuk menggagalkan ambisi Fu'ad.
Tidak ada agenda nyata untuk merespon keputusan sepihak Mustafa Kemal, yang ada hanyalah gelaran konferensi dan kongres untuk mengangkat khalifah. Respon seperti itu dimulai sejak awal abad ke-20, ketika berbagai kongres diusulkan dan diupayakan atas dukungan Inggris. Inggris mengklaim bahwa mereka tidak peduli dengan urusan Khilafah. Namun, nyatanya mereka tetap terlibat. Hal itu ditunjukkan dengan kabar dari Kairo yang memberi tahu bahwa dalam pemilihan apapun, "Islam versi Inggris" (atau Muslim India) menjadi suara penentu yang mendorong pemilihan khalifah yang "ramah kepada Pemerintahan Inggris.” Gagasan seperti itu sebenarnya bukan hal yang baru dan telah dibahas sebelumnya ketika Inggris mengubah strateginya menjelang kuartal terakhir abad ke-19. Awalnya mereka berupaya mempertahankan kesatuan negara Utsmani, tetapi kemudian strategi itu berubah menjadi upaya pengamanan posisi Inggris untuk mengambil alih Khilafah. Hal itu tercermin dalam pemikiran Robert Bulwer-Lytton yang pernah menjadi wakil Inggris di India ketika berkorespondensi dengan Lord Salisbury pada 1877. Menurutnya, strategi Inggris seharusnya bukan “bekerja sama dengan Rusia untuk menghancurkan Turki," tetapi berupaya mengambil alih Turki sepenuhnya dengan "mengendalikan sultan" sekaligus "mengurangi otoritasnya hingga setingkat paus.” Pihak lain mendorong terbentuknya Khilafah Arab, yang ditunjukkan melalui serangkaian surat di koran The Times pada tahun yang sama. Surat-surat itu menyatakan bahwa Khilafah Utsmani merupakan "ajang perebutan kekuasaan" dan bahwa posisinya harus dialihkan ke "pihak yang lebih tunduk" seperti Syarif Mekah saat itu.
Singkatnya, berbagai kongres awal yang diadakan pada pergantian abad umumnya dimaksudkan sebagai momentum penobatan seorang khalifah Arab atau sosok yang lebih spiritual untuk Khilafah. Berbagai konferensi yang diselenggarakan setelah runtuhnya Khilafah merupakan upaya untuk mengisi kembali posisi itu, dan langkah itu benar-benar berbeda dari tujuan awalnya, yakni untuk mereformasi atau justru menyingkirkan institusi itu. Namun, pembahasan itu tidak lagi relevan karena Khilafah telah dihapuskan. Akan tetapi, berbagai pertemuan tetap dilangsungkan. Bahkan, sebuah kongres diselenggarakan pada 1924 di Indonesia, sebuah wilayah yang terletak begitu jauh dari tampuk kekuasaan Khilafah yang terakhir. Para 'ulama' Indonesia berkumpul untuk menyerukan penegakan kembali Khilafah, sekaligus menyalonkan Mustafa Kemal sebagai khalifah, posisi yang tentu saja tidak diinginkan Kemal. Ditinjau dari satu sudut pandang, Kemal memang menjadi pilihan pragmatis bagi mereka yang ingin melihat Khilafah bersatu dengan kekuatan dan kemandirian politik.
Setidaknya ada tiga belas kandidat yang dicalonkan untuk jabatan kosong itu, mulai dari penguasa politik dan raja hingga pejuang perlawanan dan pejabat negara Utsmani. Salah satu kandidat penting ialah Syekh Ahmad al-Sanussi, yang mulai aktif mengejar posisi khalifah sejak akhir 1924.
Sekretarisnya mengklaim bahwa al-Sanussi menggambarkan posisi khalifah sama seperti paus dan Khilafah seperti Vatikan. Kandidat lainnya mencari cara untuk mengokohkan posisi mereka sebagai raja dan memantapkan wibawa dan pengaruh regional mereka, seperti Raja Maroko dan Mesir, serta Sharif Hussain dari Mekah. Seperti yang disebutkan sebelumnya, persaingan utama sebenarnya terjadi antara Fu’ad dan Hussain, yang ditandai dengan pengusiran Hussain dari Arab Saudi. Fu'ad, di sisi lain, memiliki banyak lawan di dalam negeri dari kalangan liberal dan rohaniawan. Suara berbeda datang dari al-Dijwi, yang menolak menerima Fu'ad sebagai khalifah, kecuali jika ia menerapkan syariah, yang tentu saja tidak pernah ditanggapi secara serius oleh Mesir. Faktanya, tidak ada kandidat yang mampu memegang jabatan khalifah sebagaimana yang dimaksud al-Dijwi. Baginya, khalifah merupakan sebuah peran aktif dan kuat yang merepresentasikan persatuan politik Islam. Posisi yang diperebutkan tidak lebih dari sekadar kepemimpinan spiritual, dan hanya menjadi gelar tanpa peran apa pun. Dengan kata lain, berbagai kongres dan usulan tidak bertujuan untuk membangun kembali Khilafah, tetapi hanya untuk memilih seorang khalifah. Kegagalan mereka terangkum dalam komentar salah satu peserta konferensi Kairo, yang menyatakan bahwa “satu hal yang dapat dikatakan: kongres ini semakin memperlihatkan kehancuran total Khilafah kepada seluruh dunia”.
Keruntuhan Khilafah dan kegagalan untuk membangkitkannya kembali telah memperlemah potensi Khilafah sebagai simbol politik. Khalifah yang pernah dianggap mewakili kekuatan Muslim independen dianggap tidak lagi relevan saat negara Turki sekuler yang didirikan oleh Kemal merebut posisinya di antara negara-negara yang baru saja terbentuk. Khilafah berakhir dengan citra sebagai alat yang dimanfaatkan oleh kekuasaan raja. Nasionalisme, negara bangsa, dan sekularisme berdiri tegak sebagai simbol kemerdekaan dan modernitas. Sebaliknya, Khilafah dianggap sebatas simbol masa lalu, sebuah gambaran politik Islam yang tidak lagi berdaya di era modern dan mudah dimanipulasi oleh pihak asing, sebagaimana khalifah sebelumnya dimanipulasi di dalam negerinya sendiri. Namun, kegagalan untuk membangkitkan atau menegakkan kembali Khilafah tidak serta merta menghapus isu Khilafah dari wacana Muslim. Sebagaiman yang kita saksikan saat ini, setelah sunyi lebih dari setengah abad, Khilafah kembali menjadi isu sentral Oleh karenannya, benar seperti yang disebutkan Bakhit pada 1925, "klaim runtuhnya Khilafah dalam Islam tidaklah tepat. Satu-satunya yang hilang hanyalah keberadaan khalifah, dan menegakkan Khilafah masih tetap menjadi kewajiban di pundak umat.”
Melihat Peta Kaitan Perjuangan Masa Lalu dan Setelahnya

Melejitnya daya tarik Khilafah bagi muslim kontemporer seperti saat ini tentu tidak bisa terlepas dari keberadaan gerakan Hizbut Tahrir yang sudah beroperasi hampir di seluruh belahan penjuru dunia. Gerakan yang didirkan oleh Taqiyuddin an-Nabhani pada 1953 ini memang yang konsisten sekaligus paling lantang menyuarakan tentang penegakan Khilafah. Tidak ada yang menyangka, ketika pembahasan Khilafah semakin meredup yang dimulai dari Mesir, justru berpuluh tahun kemudian menjadi populer kembali berkat sumbangsih sosok Taqiyuddin an-Nabhani yang saat itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang perpustakaan Kairo. Fakta bahwa Taqiyuddin memang menjadi saksi dinamika perdebatan sengit dan betapa panas situasi politik yang terjadi. Tidak hanya itu ia bahkan mendapatkan ‘darah intelektual’ langsung dari pelaku utama perdebatan.
Taqiyuddin an-Nabhani lahir pada 1911, dan menghafal al-Qur'an di bawah bimbingan ayahnya di usia muda. Ia tidak hanya menerima pendidikan Islam di rumah, tetapi juga di sekolah dasar di Ijzim. Ia kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di kota terdekat, Akka. Kakeknya, Yusuf an-Nabhani mendorong keluarga untuk mengirim Taqiyuddin ke universitas di Kairo dan menempuh pendidikan yang sama seperti yang ia lakukan. Taqiyuddin melakukan perjalanan ke Mesir pada 1928. Di sanalah ia menyelesaikan pendidikannya di al-Azhar pada tahun yang sama. Pada saat itu, ia mendaftar ke universitas Kairo yang baru didirikan, Darul Ulum, tempatnya mengejar gelar formal dalam sistem pendidikan yang baru. Secara bersamaan, ia pun tetap mengikuti sistem lama dengan menghadiri kelas-kelas yang diadakan oleh berbagai ulama di al-Azhar. Selama di Mesir, Taqiyuddin turut pula merasakan suasana panas perdebatan tentang Khilafah antara ulama al-Azhar dan kalangan sekuler.
Khilafah Usmani sudah tidak ada lagi saat Taqiyuddin muda mencapai usia tiga belas tahun. Sebagai dampak pembubaran Khilafah, muncul suasana perdebatan sengit di Mesir, tempat dimana Taqiyuddin tumbuh secara intelektual. Taqiyuddin tiba di Kairo pada 1928 ketika berusia 16 atau 17 tahun. Berbagai perdebatan dan diskusi tentang Khilafah memuncak antara tahun 1925 dan 1928. Pada faktanya, Taqiyuddin akhirnya masuk ke dalam ketegangan lingkungan politik yang kian memuncak itu. Seperti yang telah dijelaskan, al-Azhar dan beberapa ulamanya merasa terancam oleh gelombang sekularisme yang sedang populer setelah entitas Khilafah diruntuhkan secara brutal melalui penghapusan resmi. Taqiyuddin memang baru saja memasuki usia remajanya ketika Khilafah dihapuskan, dan ia hidup di Palestina yang dijajah Inggris. Kondisi itu mungkin tidak berpengaruh langsung terhadap dirinya. Akan tetapi, keluarga dan kakeknya telah menumbuhkan pemikiran tentang kewajiban tegaknya negara Islam, serta akibat dari kemerosotan dan penghapusan Khilafah. Di al-Azhar, bahkan ia mendapatkan bimbingan dari Syekh Muhammad al-Khidr Hussein atas rekomendasi sang kakek. Dengan demikian, Taqiyuddin tidak hanya memasuki al-Azhar ketika pertempuran ideologis sedang berlangsung, tetapi juga belajar di bawah bimbingan salah satu tokoh utamanya.
Selama di Kairo, Taqiyuddin menaruh perhatian pada persoalan Khilafah dan situasi politik lain yang berkembang ketika itu. Dia sering menghabiskan waktu dengan menghadiri resital puisi Ahmed Shawky, seorang penyair Arab paling terkenal di masanya. Ia dijuluki amir al-shu‘ura’, yang berarti pangeran penyair, dan musuh bebuyutan dari tokoh-tokoh sekuler seperti Thaha Husein di Mesir. Shawky tinggal di Prancis selama beberapa tahun untuk menuntut ilmu menjelang akhir abad ke-19. Ia tetap di Mesir setelah kembali pada 1894 hingga Inggris mengasingkannya pada 1914. Sekembalinya ke Mesir pada 1920, ia mulai menulis puisi yang lebih religius berisi pujian terhadap Islam dan Rasulullah, termasuk untuk Khilafah Utsmani setelah runtuh pada 1924. Dapat dilihat bahwa perjuangan demi Khilafah, agama, dan Islam dalam politik dan masyarakat tidak terbatas pada al-Azhar saja. Seluruh aspek budaya terlibat, dengan para mahasiswa dan pemikir mendukung salah satu di antara keduanya. Taqiyuddin menyatakan bahwa ia termasuk dari mereka yang mendukung Shawky, dan menentang Hussein.
Meski situasi politik sangat menarik perhatiaannya, sebagian besar waktu Taqqiyuddin di Mesir dihabiskan untuk belajar. Beberapa orang menuturkan bahwa ia adalah sosok yang berbakat secara alami, dapat membaca dan mencerna informasi dengan cepat, serta menulis dengan produktif seperti yang ditunjukkan oleh jumlah literatur yang ia hasilkan di tahun-tahun berikutnya. Hal itu ditegaskan ketika ia belajar dan lulus dari al-Azhar dan Darul Ulum dalam waktu yang bersamaan, dan menjadi salah satu mahasiswa terbaik di kedua universitas. Salah satu rekannya dari al-Azhar, Syekh Subhi al-Mu'aqat, menyatakan bahwa Taqiyuddin menarik perhatian para mahasiswa dan dosen karena kedalaman pemikiran dan kekuatan argumentasinya. Ia selalu mengacu pada dalil setiap kali berpartisipasi dalam diskusi dan perdebatan intelektual dalam lingkungan mahasiswa yang memanas kala itu. Selama masa itulah, ia mengembangkan pemikirannya yang lebih independen karena pendekatannya tidak sama dengan tipikal pembelajaran pada saat itu. Sebaliknya, ia berusaha memahami pandangan yang berlawanan untuk mengevaluasi perbedaan dan menyelesaikannya dengan mencari pendapat yang lebih sahih berdasarkan kekuatan argumen dan dalil yang digunakan. Pendekatan seperti itu secara alami memberinya jalan ke tahap selanjutnya, yakni ijtihad dan proses melatih penilaiannya sendiri berdasarkan sumber-sumber hukum Islam secara langsung.
Taqiyuddin banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca di perpustakaan di Kairo. Oleh karena itu, Taqiyuddin tidak bergabung dengan partai politik atau gerakan apa pun selama di Mesir. Aktivitas politiknya selama empat tahun tinggal di Mesir terlihat dari keterlibatannya dengan sekelompok mahasiswa Palestina di al-Azhar yang mengirim telegram ke duta besar Inggris di Mesir untuk memprotes dan menentang kebijakan Inggris terhadap Palestina. Meskipun tidak bergabung atau berpartisipasi dalam aktivitas Ikhwanul Muslimin, yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir pada 1928, Taqiyuddin mengunjungi al-Banna dengan salah satu rekannya sesama mahasiswa dari Palestina, Syekh Ahmad al-Daur. Al-Da'ur pertama kali bertemu dengan Taqiyuddin di Mesir ketika belajar di al-Azhar antara 1930 dan 1934, dan pertemuan itu berlangsung antara 1930 dan 1932, beberapa saat setelah pembentukan Ikhwan tetapi sebelum gerakan itu berinteraksi secara politis. Taqiyuddin memiliki kesan positif terhadap al-Banna kala itu karena kecerdasan dan pandangannya tentang kebangkitan Islam.
Pada 1932, tahun yang sama dengan wafatnya sang kakek, Taqiyuddin lulus dari Darul Ulum dan al-Azhar dan menjadi salah satu lulusan dengan nilai terbaik. Beberapa dosennya berkomentar bagaimana ia dihormati para rekan dan dosen sejak awal belajar di Darul Ulum. Hal itu mengindikasikan kemampuan personalnya, serta bagaimana ia disiapkan selama masa mudanya dalam hal pengetahuan tentang bahasa Arab dan kajian Islam. Taqiyuddin meninggalkan Mesir pada tahun itu dan kembali ke Palestina. Ia kembali dengan memegang empat ijazah: ijazah sekolah menengah al-Azhar, sertifikat yang setara dengan gelar di bidang syariah dari al-Azhar, gelar dari Darul Ulum dalam bidang bahasa dan sastra Arab, dan izin dari Lembaga Tinggi untuk Fiqih Islam (masih berkaitan dengan al-Azhar) yang mengukuhkan statusnya sebagai seseorang yang mampu bekerja sebagai hakim syariah.
Taqiyuddin mungkin tidak terlibat dalam aktivitas politik yang terorganisir ketika di Mesir. Namun, ia dikenal sebagai pendebat politik yang aktif di kalangan mahasiswa dan dosen di al-Azhar. Salah satu rekannya dari Mesir, Prof. Jad al-Rabb Ramadan (kepala fakultas syariah dan hukum, 1973) menyebutkan bagaimana ia menekankan perlunya para ulama untuk berperan aktif dalam kebangkitan negara Islam. Selain itu, koneksi yang ia jalin dengan mahasiswa dan ulama lainnya, terutama yang berasal dari Palestina, sangat membantu Taqiyuddin kelak di masa depan ketika ia mulai berencana membentuk partai politik yang membuat Khilafah mendapatkan momentum popularitasnya kembali.
Penulis:
Septian Abu Wisam(septian.shum@gmail.com)
(Al-Islam wal-Khilafah fil-'Ashril-Hadits (1973), Dr. Muhammad Dhiauddin Ar-Rais, hlm. 38)
Referensi:
Agoston, Gabor dan Bruce Masters (ed.). Encyclopedia of the Ottoman Empire. New York: Facts on File, 2008.
Al-Rasheed, Madawi, Carool Kersten dan Marat Shterin (ed.). Demystifying The Caliphate: Historical Memory And Contemporary Contexts. New York: Oxford University Press, 2015. hlm. 31-56.
Hassan, Mona. Longing For The Lost Caliphate: A Transregional History. New Jersey: Princeton University Press, 2017.
Kramer, Martin. Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses. New York: Columbia University Press, 1985.
Niemeijer, A.C.. The Khilafat Movement in India 1919-19224. Leiden: Brill, 1972.
Oliver-Dee, Sean. The Caliphate Question: The British Government And Islamic Governance. Lanham: Lexington Book, 2009.
Ozoglu, Hakan. From Caliphate to Secular State: Power Struggle in the Early Turkish Reoublic. Santa Barbara: Praeger, 2011.
Pankhrust, Reza. Hizbut-ut-Tahrir: The Untold History of the Liberation Party. London: C. Hurst & Co., 2016.
-----The Inevitable Caliphate?: A History Of The Struggle For Global Islamic Union, 1924 To The Present. New York: Oxford University Press, 2013.
SEPTIAN A.W. adalah pegiat literasi kelahiran 13 September 1989. Pria yang pernah mengenyam pendidikan S1 dan S2 studi Sejarah di kampus negeri ternama ini telah menjadi bagian dari gerakan Hizbut Tahrir sejak 2005 dan menjadi editor penerjemah buku The Inevitable Caliphate? edisi bahasa Indonesia pada 2019.