FENOMENA NIKAH DINI DI TENGAH BAYANG-BAYANG LIBERALISME

FENOMENA NIKAH DINI DI TENGAH BAYANG-BAYANG LIBERALISME


Penulis: Muhammad Rifky Afrizal | Pustakawan muda

Sepasang remaja di Lombok Tengah viral karena menggelar resepsi pernikahan, setelah sebelumnya sempat melakukan kawin lari. Menurut tradisi masyarakat Sasak Lombok, mereka harus dinikahkan karena telah menghilang lebih dari 24 jam. Perangkat desa sebenarnya berusaha mencegah pernikahan itu karena keduanya masih di bawah umur. Namun, orang tua tetap melangsungkan pernikahan pada Mei 2025 sebagai konsekuensi menjalankan hukum adat yang berlaku di sana.

Pengadilan Agama (PA) Surabaya mencatat sejak awal tahun 2025 hingga Jumat (30/5), terdapat 24 pengajuan dispensasi nikah — dibandingkan 92 pengajuan pada tahun 2024 dan 198 pengajuan pada 2023 (Jawa Pos, Senin 1/6/2025). Tidak sedikit perempuan di bawah usia 19 tahun dijodohkan oleh keluarganya, dan sebagian lainnya terpaksa menikah karena tekanan ekonomi keluarga menengah ke bawah. Dalam beberapa kasus, Widia Ari Susanti, seorang pengacara di Surabaya, menuturkan, “Sebagian kasus anak-anak yang menikah di usia dini tidak melanjutkan pendidikannya. Ada semacam lingkaran setan yang terus berulang,” ucapnya.

Humas Pengadilan Agama Surabaya, Akramuddin, menyatakan bahwa pihaknya memperketat regulasi dengan membatasi permohonan dispensasi nikah pada usia minimal 18 tahun. “Kami perketat. Usia 18 tahun ke bawah mayoritas kami tolak,” paparnya. Selain itu, surat keterangan sehat dari dokter serta surat keterangan kesehatan mental juga wajib disiapkan. Tidak kalah penting, menurutnya, “Kalau laki-lakinya belum mampu secara ekonomi, maka majelis berhak menolak,” sambung Akramuddin.

Kehamilan di luar nikah sering menjadi alasan utama di balik lolosnya dispensasi nikah dini. Misalnya pada kasus Rangga dan Dewi. Kuasa hukum Dewi, Evy Susantie, menyampaikan bahwa Rangga masih duduk di kelas X SMA, sedangkan Dewi baru kelas VIII SMP. Mereka berpacaran hingga akhirnya orang tua Dewi mendapati putrinya telah hamil enam bulan. Kedua orang tua sepakat menikahkan mereka. “Keduanya masih di bawah umur, 16 dan 14 tahun, sehingga kami ajukan permohonan dispensasi nikah,” jelas Evy.

Seorang siswi kelas XI SMA di Kalibawang —sekitar satu jam dari Yogyakarta— diketahui hamil di luar nikah. Hal ini berdampak pada pendidikan dan kehidupannya. Anak yang dilahirkannya meninggal, dan mereka bercerai tak lama setelah menikah muda. Kabarnya, terjadi KDRT dan kekurangan nafkah. Sementara itu di Makassar, ada kisah seorang gadis 17 tahun yang dilamar oleh teman ibunya. Padahal gadis itu masih menyimpan segudang mimpi. Namun, setelah memiliki lima anak di usia muda, ia dikabarkan mengalami depresi hingga curhat kepada psikolog.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) juga menyampaikan melalui Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Pribudiarti Nur Sitepu, bahwa “Putus sekolah adalah salah satu dampaknya. Anak akan kehilangan hak belajar dan masa depannya.” Lalu, bagaimana dengan kesehatan reproduksinya? “Kehamilan di usia muda berisiko tinggi, baik bagi ibu maupun janin,” tegasnya.

Pernikahan merupakan salah satu isi dari perjalanan hidup manusia pada umumnya. Memang jodoh di tangan Tuhan, tapi apakah jodoh itu datang dengan membawa persiapan yang matang atau keterpaksaan, apakah dengan kebahagiaan yang tulus atau kebahagiaan yang semu? Ketika bujang, lalu berpacaran dan merasa belum siap untuk menikah, namun ketika sudah menghamili pacarnya, akhirnya nikah muda pun diselenggarakan, bukan?

Miris, itupun jika mau bertanggung jawab, jika lari dan kabur entah kemana perginya? Bagaimana nasib anak perempuan malang itu? Belum lagi jika kehamilan itu akan diputuskan dengan jalur aborsi sebagaimana kabar beredar. Menurut laporan WHO (World Health Organization) jumlah janin aborsi di Indonesia sekitar 750 ribu sampai 1,5 juta kasus per tahunnya (review-unes.com). jutaan nyawa calon bayi hilang, mati begitu saja. Kebebasan bergaul remaja (laki-laki dan perempuan) inilah yang membuat remaja melenceng dari tujuan utamanya untuk apa mereka hidup, jika bukan menjadi hamba / manusia yang solih.

Sejatinya remaja itu disibukkan dengan belajar, belajar dan belajar, mengkaji dan mengkaji, meneliti dan meneliti, mendalami dan mendalami ilmu pengetahuan dan sains. Memberikan karya dan efek positif di kesehariannya. Lalu apa yang membuat remaja sibuk hura-hura, malas berfikir dan condong berburu romansa kelabu? Tentu semua karena liberalisme yang dibiarkan di tengah mereka. Liberalisme yang digaungkan oleh Republik ini. Pemahaman yang menempatkan kebebasan individu sebagai nilai utama dalam segala aspeknya.

Remaja sesukanya melakukan apapun tanpa ada batasan yang jelas khususnya batasan agamanya (Islam). Padahal siapa saja yang jauh dari agamanya pasti akan celaka. Kecelakaan ini akibat membiarkan liberalisme tumbuh di kehidupan sosial kalangan remaja. Sehingga setiap Orangtua jadi bingung dan sulit membendung perilaku anaknya yang tak bisa diatur dan sulit dibimbing akibat meremehkan bahaya liberalisme / pergaulan bebas, sampai-sampai tidak ada cara lain kecuali memasukkannya ke barak militer agar anak-anak menjadi baik. Cukuplah Allah yang memberi jalan yang terang bagi manusia.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ
"Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan..." (QS. An-Nisa’: 65)

Tentu, anak-anak akan tumbuh baik jika mereka memiliki iman yang kuat dan mengekspresikannya dalam takwa kepada-Nya. Iman yang sengaja ditanamkan dan dibimbing oleh orang tua, dikawal oleh masyarakat, dan dijaga oleh negara. Maka, problematika nikah dini akan sulit terjadi. Islam tidak menetapkan batas umur dalam pernikahan. Selama seseorang telah baligh, maka sah pernikahannya, dengan syarat-syarat lain yang menopang kekuatan pernikahan itu sesuai dengan aturan Islam. Misalnya, laki-laki mampu menafkahi lahir dan batin serta memiliki karakter pendukung seperti kemandirian, tanggung jawab, visi, empati tinggi, dan sebagainya. Begitu juga perempuan, memiliki kepribadian dan kesiapan yang terukur. Sehingga menikah dini bukan karena keterpaksaan, seks bebas, atau tuntutan hukum adat.

Akhirnya, menikah memang berat jika tanpa persiapan. Tapi akan mudah bagi siapa yang telah menyiapkannya. Maka, bagi kita yang belum siap, fokuslah membangun karakter yang kuat. Menjadi insan mandiri yang bisa mencukupi kebutuhannya dan dirindukan oleh lingkungan sekitarnya. Sadarlah bahwa liberalisme bukanlah jalan yang baik. Sudah terbukti, ia justru menjerumuskan remaja dalam keterpurukan. Karena itulah, yuk belajar Islam, sambil mencari teman-teman baik di sekelilingmu.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel