TAATILAH ULIL AMRI!
Jumat, 20 Agustus 2021
Edit
Oleh: Umi Rizkyi
Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal yang terjadi. Baik pada individu, keluarga, masyarakat bahkan tingkat negara. Semua ada aturan dan hukumnya dalam Islam. Tidak ada satupun hal yang terlepas dan tidak ada hukumnya.
Baik dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara sekalipun. Dalam kehidupan individu misalnya solat, puasa, dzikir, bersolawat dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan berkeluarga, misalnya Istri taat kepada suami, anak berbakti kepada orang tua, berkasih sayang antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya, saling membantu dalam keadaan apapun dan sebagainya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya bekerja bakti membersihkan lingkungan, bergotong royong mendirikan rumah, masjid, gardu/pos ronda dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan bernegara, contohnya taat dan patuh terhadap Ulil Amri, menjaga nama baik negara, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, membela negara dan lain sebagainya.
Dalam hal menaati Ulil Amri, tidak serta Merta harus taat begitu saja. Dalam hal ini adalah Ulil Amri yang benar-benar menaati hukum Islam. Senantiasa dipilih oleh rakyat, bukan karena pencalonan diri mereka.
Bahkan dikisahkan dalam kisah Kholifah abu bakar, ketika Rasulullah Saw telah wafat. Menjadi seorang Ulil Amri di tengah masyarakat adalah sesuatu yang tidak diinginkan oleh abu bakar. Beliau justru menolaknya.
Begitu pula dikisahkan dalam kisah Kholifah Umar bin Khattab. Beliau justru nangis tersedu ketika Kholifah abu bakar wafat. Dan dirinya ditunjuk oleh umat ketika itu untuk menjadi seorang Kholifah.
Namun demikian, fakta sekarang jauh berbeda. Sebuah kekuasaan dalam kehidupan ini sangat diinginkan dan diperebutkan antara satu orang dengan yang lainnya. Mereka tidak paham apa pertanggungjawaban sebagai seorang Ulil Amri.
Mereka hanya berambisi untuk menjadi seorang penguasa. Tanpa adanya kemampuan dan keahlian yang mendukung untuk menjadi seorang pemimpin. Yang senantiasa patuh dan taat terhadap perintah Allah SWT.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa'[4]:59).
Inilah landasannya bahwa seseorang harus taat kepada Ulil Amri. Senantiasa mengikuti apapun keputusannya, asal tidak ada pelanggaran hukum syara di dalamnya. Tidak ada yang merasa tersakiti dan terdzolimi olehnya.
Tentunya Ulil Amri di sini tidak seperti para pengusaha yang ada pada saat ini. Di mana mereka menjadi penguasa karena hawa nafsunya, berambisi untuk mendapatkan jabatan secara mati-matian, dengan uang yang mereka miliki dan lain-lainnya.
Di mana mereka justru mementingkan urusan kekuasaan dibanding apapun. Tidak peduli ia melanggar hukum syara atau menaatinya. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan itu.
Oleh karena itu, tidak selayaknya sebagai rakyat kita taat dan patuh terhadap Ulil Amri. Justru sebaliknya, sudah menjadi kewajiban kita untuk menolak dan meninggalkan apapun yang menjadi kebijakannya.
Namun demikian, dalam kondisi seperti ini maka tidak serta merta bisa kita lakukan. Karena terkait sistem yang ada pada saat ini. Namun ketika Islam telah kembali kepada pemiliknya yaitu umat Islam, maka hal ini secara wajib dan mutlak untuk ditinggalkan. Semoga bermanfaat. Allahuaklam bi showab.