MENJAWAB KEGALAUAN GENERASI LIBERAL MILENIEAL

MENJAWAB KEGALAUAN GENERASI LIBERAL MILENIEAL


Oleh : Dr. Mastori Abu Hana

Ada tulisan seorang ibu di medsos yang cukup menggelitik untuk dikomentari. Tulisan itu berkisah tentang meninggalnya Cendekiawan Jalaludin Rahmat yang disebutnya sebagai cendekiawan hebat dan tak tergantikan. Saya sendiri ketika kuliah S1 sempat mengkaji dan membeli buku beliau berjudul ‘Psikologi Agama’.

Jalaludin rahmat, dalam tulisan itu, disejajarkan dengan tokoh-tokoh lain seperti Nurcolis Madjid, Haidar Baqir, Gus Dur, Imad bahkan Ulil Abshor. Nama-nama tersebut dianggap sebagai cendekiawan langka pada era 80-90 an yang pemikirannya belum ada yang mampu menggantikan di era saat ini.

Menariknya, si ibu juga menyebut Amin Rais dan Anis Baswedan. Sebenarnya, kedua tokoh ini juga hendak disejajarkan dengan nama-nama yang disebut diatas. Hanya, karena kedua tokoh ini kelihatan bersebarangan dengan pemerintah dan dekat dengan umat Islam maka mereka berdua dikeluarkan dari radar para pemikir yang kita kenal sebagai pemikir liberal itu.

Tentu boleh saja mengagumi pemikiran seseorang. Normal-normal saja. Terlepas apa dan siapa yang dikagumi. Kekaguman terhadap sebuah pemikiran seorang tokoh menunjukan dia seorang pemikir dan pembaca. Beda misalnya kalau yang dikagumi penyanyi atau artis dangdut. Biasanya mereka adalah penikmat seni bukan penikmat pikiran. Walaupun tentu saja penyanyi akan menolak kalau disebut tidak berfikir.

Yang menggelitik dari tulisan itu adalah ketika mengatakan generasi milineal, menurutnya, tidak lagi ‘memanuti’ tokoh-tokoh tersebut. Generasi milineal justru mengidolakan tokoh-tokoh , dia menyebut, seperti Felix Shiauw, Yahya Waloni, Rocky Gerung, Nur Sugik, Tengku Zul, Irena Handono,Oki Setiana Dewi, Ari Untung, Tengku Wisnu dan istrinya.

Kita tidak tahu mengapa sang ibu begitu sensi dengan nama-nama tersebut sehingga dikatakan idola generasi mileneal pengganti tokoh-tokoh gaek pemikir liberal. Kenapa misalnya tidak menyesalkan kenapa generasi milineal senang bergosip, mengagumi nikita mirzani, Abu Janda, Deny S, ayu ting-ting, Badriah dan artis-artis lainnya?

Saya menangkap, ketidak sukaan sang ibu terhadap nama-nama seperti Yahya Waloni, Tengku Zul, Oki dst itu disebabkan : tokoh-tokoh tersebut dianggap sebagai icon perlawanan Islam yang berseberangan dengan pemikir liberal diatas.

Generasi liberal milineal kurang mampu menjadi generasi penerus tokoh-tokoh idolanya dalam menghadapi ‘perang pemikiran’ yang terbuka dan sadis. Mereka bukan anti dengan tokoh yang diidentikan dengan ‘kekerasan dan sok suci’. Sebab pada sisi yang lain mereka juga seakan mengaminkan kekerasan dan persekusi yang dilakukan ‘kubu liberal’ terhadap lawan-lawan yang disebut diatas.

Saran saya, untuk menghidupkan budaya literasi dan berfikir cerdas, bila itu yang diinginkan, generasi liberal milineal tidak perlu cengeng karena kavlingnya banyak direbut oleh umat Islam yang menghendaki nilai-nilai Islam hadir dalam setiap lini kehidupan.

Generasi liberal mileneal harus bergerak mengkritik UU ITE dan para buzzer supaya suasana perdebatan dan adu argumentasi diberbagai forum bisa kembali jernih sebagaimana dulu, sebelum rezim saat ini. Sebab tidak bisa dipungkiri, suasana gaduh saat ini bukanlah ulah tokoh-tokoh yang mencoba mendekat dengan Islam tersebut.

Semua itu terjadi karena forum-forum akademik yang harusnya menjadi tempat untuk menguji pikiran ( meminjam bahasa Rocky G) dianeksasi dan dipolitisasi. Wajar hingga akhirnya diskusi beralih kedunia maya. Tempat dimana emas dan sampah bercampur.

Ketika petarung tidak diizinkan bertarung di ring tinju maka mereka akan bertarung dijalanan. Itulah kondisi saat ini. Ketika kritik dan perbedaan tidak diizinkan untuk diselesaikan diring akademik seperti kampus, akhirnya mereka bertarung dijalanan (medsos).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel